"Beberapa waktu lalu saya menulis artikel untuk keperluan koran kampus di FT UI, temanya tentang pendidikan, dalam artikel tersebut ada beberapa hal yang di sunting, namun dalam blog pribadi ini adalah naskah keseluruhan artikel tersebut, ya artikel ini membahas tentang pandangan mengenai pendidikan, secara singkat dari materi yang saya baca tentang Bung Hatta. Selamat membaca"
Bung Hatta kecil suka menabung. Uang
sakunya yang 1 gonang ( 25 sen ), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat
menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor,
atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
Sampai
akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah.
“Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta,
putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaanya.”
Pada cuplikan artikel diatas,
tampaknya sulit dipercaya bahwa Bung Hatta memiliki koleksi buku sebanyak 30
ribu buah. Kecintaan Bung Hatta pada Buku sangatlah besar, tak heran ada
anggapan bahwa jika istri Bung Hatta ada 3, maka yang pertama buku, kedua buku
dan ketiga adalah Rahmi. Hatta benar-benar menganggap bahwa Buku sebagai sumber
ilmu pengetahuan dan solusi kehidupan adalah suatu keniscayaan. Hal ini
mempengaruhi pandangannya dalam membangun Indonesia. Baginya, merubah kondisi
Negara dari masa imperialisme menuju Negara yang mandiri dan maju perlu dilakukan
dengan dasar pendidikan yang kuat, mencerdaskan warga negaranya. Bahkan prinsip
inilah yang menjadikan adanya perselisihan antara dirinya dengan sahabatnya,
Soekarno. Sebagai sesama proklamator, keduanya sangat berjasa dalam memberikan
identitas bangsa dan membawa gerakan Indonesia yang bersatu hingga menuju
kemerdekaan. Tapi tak dipungkiri, keduanya memiliki paham yang berbeda. Sejak
sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno memilih cara-cara agitasi dalam
mempersatukan Bangsa. Bahkan sampai setelah merdeka Bung Karno mengambil
langkah untuk melaksanakan apa yang kita kenal sekarang sebagai Demokrasi
Terpimpin, yaitu sebuah sistem demokrasi dengan seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpinnya.
Sejak sebelum merdeka Bung Hatta
sudah berbeda pemikiran dengan Bung Karno. Perbedaan ini ditunjukkan saat Hatta
mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru tahun 1931, yang berbeda
haluan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Soekarno pada tahun
1927. PNI Baru bentukan Hatta bukan muncul sebagai partai, melainkan sebagai
“pendidikan”. Hatta menilai dengan nama itu, PNI Baru akan menjalani kerja yang
lebih berat daripada pekerjaan partai. Karena cara kerja pendidikan tidak
melulu mencari kuantitas dalam pergerakan, melainkan kualitas dan kuatnya
kerukunan. Baginya, bukan berarti bahwa cara agitasi yang dilakukan oleh
Soekarno adalah salah total. Agitasi memang bagus sebagai pembuka jalan, tapi
pendidikan yang membimbing rakyat menuju kemajuan! Itulah jalan bersimpang
antara asas perjuangan Hatta dan Soekarno. Soekarno lebih menekankan pada aksi
massa, sedangkan Hatta lebih mengedepankan aspek pendidikan. Hatta menghendaki
asas kedaulatan rakyat yang lahir dari buah pencerdasan , sementara Soekarno
lebih pada asas persatuan bangsa. Bagi Bung Hatta, persatuan perlu penataan,
dan penataan yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan.
Begitu kuatnya perasaan Bung
Hatta untuk memajukan bangsanya dengan jalur pendidikan, pencerdasan bagi
seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bung
Hatta meyakini bahwa melalui pendidikan akan lahir bangsa yang mandiri dan
maju. Tak Heran mungkin itulah yang terjadi pada negara Jepang, di masa
Restorasi Meji yang terkenal. Dalam jangka waktu hanya sekitar 30 tahun, Jepang
berhasil berubah dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi
negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat. Modernisasi yang
dilakukan oleh kaisar Meiji lebih difokuskan kepada bidang pendidikan dengan
cara meningkatkan anggaran pendidikan secara drastis, wajib belajar bagi
penduduk Jepang dan pengiriman pelajar-pelajarnya untuk belajar di Eropa. Namun,
tujuannya ialah satu, ketika selesai mencari ilmu, warga negara Jepang
diperintahkan pulang untuk membangun Jepang dengan ilmu-ilmu yang didapatkan
dari luar.
Kini sudah 112 tahun lamanya,
semenjak Hatta dilahirkan, harapan akan lahirnya Bangsa Indonesia yang maju dan
mandiri belum dapat terpenuhi. Entah apakah yang akan Bung Hatta lakukan apabila
ia masih hidup saat ini. Melihat banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh
para pejabat negara, carut marut politik, jauhnya sistem pendidikan kita dari
kata baik, serta masalah-masalah lainnya. Seperti tiada hari tanpa masalah.
Mungkin tiap hari akan selalu ada tulisan-tulisan kritisnya di koran-koran
seperti yang dia lakukan ketika lengser dari jabatannya sebagai Wakil Presiden
dan memilih jalan sebagai warga negara biasa, sebagai intelektual. Ya, sebagai
seorang yang terdidik membuat Hatta memiliki pandangan yang jauh untuk
bangsanya. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak meninggalkan bangsanya dikala
susah, ia rela dipenjarakan dan diasingkan dalam perjuangannya menuju Indonesia
yang maju. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak menyalahgunakan kewenangan yang
ia miliki, bahkan saat menjabat sebagai Wakil Presiden. Tapi kenyataannya, sejarah mencatat Bung Hatta
tetap hidup sederhana dari uang pensiunan. Pernah ada sebuah peristiwa
pada saat “Gebyar 100 tahun Bung Hatta”, sebuah spanduk yang terpajang di gerbang pintu
masuk Kota Bukittingi tertulis kata-kata: “Bung Hatta tidak meninggalkan
kekayaan dan tetap miskin sampai akhir hayatnya”.
Seperti kata pepatah, jangan
berikan ikan pada seseorang tetapi berikanlah ia pancingan agar ia dapat
mencari ikannya sendiri. Tentunya jalan perjuangan pendidikan kita masih sangat
panjang dan berat, kita tentu merindukan sekali seorang kaum pelajar seperti
Bung Hatta. Belajarlah dari sejarah bangsa ini, karena sejarah kita adalah
sejarah luka dan air mata. Melawan lupa! Jadilah kaum intelektual sejati,
seperti yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam buku catatan hariannya. Gie
mangatakan bahwa kaum intelektual sejati adalah mereka yang terdidik dengan
sangat baik, memahami permasalahan sekitarnya lebih baik dari pada orang disekelilingnya,
dan menuntut perbaikan pada permasalahan tersebut pada dirinya sendiri. Karena
sejatinya kaum lemah menggantungkan mimpi dan harapannya lebih besar kepada
mereka yang terdidik.
Dan semoga kita adalah tunas dari
mereka yang terdidik... Semoga.
Depok, 5 Mei 2014
Wegit Triantoro
Teknik Industri 2011
No comments:
Post a Comment