Thursday, May 08, 2014

Menjajaki Makna Pendidikan Menurut Proklamator: Bung Hatta

"Beberapa waktu lalu saya menulis artikel untuk keperluan koran kampus di FT UI, temanya tentang pendidikan, dalam artikel tersebut ada beberapa hal yang di sunting, namun dalam blog pribadi ini adalah naskah keseluruhan artikel tersebut, ya artikel ini membahas tentang pandangan mengenai pendidikan, secara singkat dari materi yang saya baca tentang Bung Hatta. Selamat membaca"


Bung Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gonang ( 25 sen ), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
            Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah. “Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta, putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaanya.”

Pada cuplikan artikel diatas, tampaknya sulit dipercaya bahwa Bung Hatta memiliki koleksi buku sebanyak 30 ribu buah. Kecintaan Bung Hatta pada Buku sangatlah besar, tak heran ada anggapan bahwa jika istri Bung Hatta ada 3, maka yang pertama buku, kedua buku dan ketiga adalah Rahmi. Hatta benar-benar menganggap bahwa Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan solusi kehidupan adalah suatu keniscayaan. Hal ini mempengaruhi pandangannya dalam membangun Indonesia. Baginya, merubah kondisi Negara dari masa imperialisme menuju Negara yang mandiri dan maju perlu dilakukan dengan dasar pendidikan yang kuat, mencerdaskan warga negaranya. Bahkan prinsip inilah yang menjadikan adanya perselisihan antara dirinya dengan sahabatnya, Soekarno. Sebagai sesama proklamator, keduanya sangat berjasa dalam memberikan identitas bangsa dan membawa gerakan Indonesia yang bersatu hingga menuju kemerdekaan. Tapi tak dipungkiri, keduanya memiliki paham yang berbeda. Sejak sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno memilih cara-cara agitasi dalam mempersatukan Bangsa. Bahkan sampai setelah merdeka Bung Karno mengambil langkah untuk melaksanakan apa yang kita kenal sekarang sebagai Demokrasi Terpimpin, yaitu sebuah sistem demokrasi dengan seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya.

Sejak sebelum merdeka Bung Hatta sudah berbeda pemikiran dengan Bung Karno. Perbedaan ini ditunjukkan saat Hatta mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru tahun 1931, yang berbeda haluan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Soekarno pada tahun 1927. PNI Baru bentukan Hatta bukan muncul sebagai partai, melainkan sebagai “pendidikan”. Hatta menilai dengan nama itu, PNI Baru akan menjalani kerja yang lebih berat daripada pekerjaan partai. Karena cara kerja pendidikan tidak melulu mencari kuantitas dalam pergerakan, melainkan kualitas dan kuatnya kerukunan. Baginya, bukan berarti bahwa cara agitasi yang dilakukan oleh Soekarno adalah salah total. Agitasi memang bagus sebagai pembuka jalan, tapi pendidikan yang membimbing rakyat menuju kemajuan! Itulah jalan bersimpang antara asas perjuangan Hatta dan Soekarno. Soekarno lebih menekankan pada aksi massa, sedangkan Hatta lebih mengedepankan aspek pendidikan. Hatta menghendaki asas kedaulatan rakyat yang lahir dari buah pencerdasan , sementara Soekarno lebih pada asas persatuan bangsa. Bagi Bung Hatta, persatuan perlu penataan, dan penataan yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan.

Begitu kuatnya perasaan Bung Hatta untuk memajukan bangsanya dengan jalur pendidikan, pencerdasan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bung Hatta meyakini bahwa melalui pendidikan akan lahir bangsa yang mandiri dan maju. Tak Heran mungkin itulah yang terjadi pada negara Jepang, di masa Restorasi Meji yang terkenal. Dalam jangka waktu hanya sekitar 30 tahun, Jepang berhasil berubah dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat. Modernisasi yang dilakukan oleh kaisar Meiji lebih difokuskan kepada bidang pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan secara drastis, wajib belajar bagi penduduk Jepang dan pengiriman pelajar-pelajarnya untuk belajar di Eropa. Namun, tujuannya ialah satu, ketika selesai mencari ilmu, warga negara Jepang diperintahkan pulang untuk membangun Jepang dengan ilmu-ilmu yang didapatkan dari luar.

Kini sudah 112 tahun lamanya, semenjak Hatta dilahirkan, harapan akan lahirnya Bangsa Indonesia yang maju dan mandiri belum dapat terpenuhi. Entah apakah yang akan Bung Hatta lakukan apabila ia masih hidup saat ini. Melihat banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, carut marut politik, jauhnya sistem pendidikan kita dari kata baik, serta masalah-masalah lainnya. Seperti tiada hari tanpa masalah. Mungkin tiap hari akan selalu ada tulisan-tulisan kritisnya di koran-koran seperti yang dia lakukan ketika lengser dari jabatannya sebagai Wakil Presiden dan memilih jalan sebagai warga negara biasa, sebagai intelektual. Ya, sebagai seorang yang terdidik membuat Hatta memiliki pandangan yang jauh untuk bangsanya. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak meninggalkan bangsanya dikala susah, ia rela dipenjarakan dan diasingkan dalam perjuangannya menuju Indonesia yang maju. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak menyalahgunakan kewenangan yang ia miliki, bahkan saat menjabat sebagai Wakil Presiden. Tapi kenyataannya, sejarah mencatat Bung Hatta tetap hidup sederhana dari uang pensiunan. Pernah ada sebuah peristiwa pada saat “Gebyar 100 tahun Bung Hatta, sebuah spanduk yang terpajang di gerbang pintu masuk Kota Bukittingi tertulis kata-kata: “Bung Hatta tidak meninggalkan kekayaan dan tetap miskin sampai akhir hayatnya”.

Seperti kata pepatah, jangan berikan ikan pada seseorang tetapi berikanlah ia pancingan agar ia dapat mencari ikannya sendiri. Tentunya jalan perjuangan pendidikan kita masih sangat panjang dan berat, kita tentu merindukan sekali seorang kaum pelajar seperti Bung Hatta. Belajarlah dari sejarah bangsa ini, karena sejarah kita adalah sejarah luka dan air mata. Melawan lupa! Jadilah kaum intelektual sejati, seperti yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam buku catatan hariannya. Gie mangatakan bahwa kaum intelektual sejati adalah mereka yang terdidik dengan sangat baik, memahami permasalahan sekitarnya lebih baik dari pada orang disekelilingnya, dan menuntut perbaikan pada permasalahan tersebut pada dirinya sendiri. Karena sejatinya kaum lemah menggantungkan mimpi dan harapannya lebih besar kepada mereka yang terdidik.
Dan semoga kita adalah tunas dari mereka yang terdidik... Semoga.
Depok, 5 Mei 2014
Wegit Triantoro
Teknik Industri 2011

No comments:

Post a Comment