Sunday, May 11, 2014

#SajakMalam - Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Pada yang jatuh terserak
Aku berharap, segeralah lepas dari duka

Pada yang terbias oleh sinar senja
Aku berharap, matahari kembalilah beredar di lintasnya

Karena malam teramat sering mengalirkan duka
Seperti kenangan akankah ia bertahan
Atau perlahan menjelma menjadi lautan

Malam....
Ia kosong bagai cerobong asap tanpa api menyala di tungku
Membawa dan menyajikan sesak di setiap waktu aku merindu

Semesta.....
Ia mencengkramku erat!
Aku tak dapat melepas, melainkan pasrah dipukulnya telak
Aku tejerembab
Mengais, memberontak, mengharap.....

Tapi tak kutemukan maaf

Hanya sesal yang aku keluhkan
Tetapi....
Malam ini tak ku akhiri dengan pertanyaaan
Namun akan ku isi dengan kehangatan kenangan

Karena kini kau telah lupa pada luka lama
Maka dalam gelap aku berdoa......

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Wegit Triantoro - 12 Mei 2014

Saturday, May 10, 2014

#SajakMalam - Elegi Mimpi


Menari
Melangkah pergi
Membawa sejuta mimpi

Tertidur
Sunyi, senyap, hilang
Serasa lupa segala
Padahal semu

Apalah arti memiliki?
Jika pelukan mesranya tak punya arti

Apalah arti cinta sejati?
Jika sejak dikandung, ia ragu dan saling curiga.

Biarkan air bah mengalir
Karena bendungnya tak kan mungkin kita tahan
Biarkan takdir mengukir
Karena langkah kaki selalu mengarah pada suatu jalan

Menatapmu, melahirkan sejuta elegi....

Walau hanya dalam mimpi

Wegit Triantoro - 9 Mei 2014

Thursday, May 08, 2014

Menjajaki Makna Pendidikan Menurut Proklamator: Bung Hatta

"Beberapa waktu lalu saya menulis artikel untuk keperluan koran kampus di FT UI, temanya tentang pendidikan, dalam artikel tersebut ada beberapa hal yang di sunting, namun dalam blog pribadi ini adalah naskah keseluruhan artikel tersebut, ya artikel ini membahas tentang pandangan mengenai pendidikan, secara singkat dari materi yang saya baca tentang Bung Hatta. Selamat membaca"


Bung Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gonang ( 25 sen ), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
            Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah. “Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta, putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaanya.”

Pada cuplikan artikel diatas, tampaknya sulit dipercaya bahwa Bung Hatta memiliki koleksi buku sebanyak 30 ribu buah. Kecintaan Bung Hatta pada Buku sangatlah besar, tak heran ada anggapan bahwa jika istri Bung Hatta ada 3, maka yang pertama buku, kedua buku dan ketiga adalah Rahmi. Hatta benar-benar menganggap bahwa Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan solusi kehidupan adalah suatu keniscayaan. Hal ini mempengaruhi pandangannya dalam membangun Indonesia. Baginya, merubah kondisi Negara dari masa imperialisme menuju Negara yang mandiri dan maju perlu dilakukan dengan dasar pendidikan yang kuat, mencerdaskan warga negaranya. Bahkan prinsip inilah yang menjadikan adanya perselisihan antara dirinya dengan sahabatnya, Soekarno. Sebagai sesama proklamator, keduanya sangat berjasa dalam memberikan identitas bangsa dan membawa gerakan Indonesia yang bersatu hingga menuju kemerdekaan. Tapi tak dipungkiri, keduanya memiliki paham yang berbeda. Sejak sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno memilih cara-cara agitasi dalam mempersatukan Bangsa. Bahkan sampai setelah merdeka Bung Karno mengambil langkah untuk melaksanakan apa yang kita kenal sekarang sebagai Demokrasi Terpimpin, yaitu sebuah sistem demokrasi dengan seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya.

Sejak sebelum merdeka Bung Hatta sudah berbeda pemikiran dengan Bung Karno. Perbedaan ini ditunjukkan saat Hatta mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru tahun 1931, yang berbeda haluan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Soekarno pada tahun 1927. PNI Baru bentukan Hatta bukan muncul sebagai partai, melainkan sebagai “pendidikan”. Hatta menilai dengan nama itu, PNI Baru akan menjalani kerja yang lebih berat daripada pekerjaan partai. Karena cara kerja pendidikan tidak melulu mencari kuantitas dalam pergerakan, melainkan kualitas dan kuatnya kerukunan. Baginya, bukan berarti bahwa cara agitasi yang dilakukan oleh Soekarno adalah salah total. Agitasi memang bagus sebagai pembuka jalan, tapi pendidikan yang membimbing rakyat menuju kemajuan! Itulah jalan bersimpang antara asas perjuangan Hatta dan Soekarno. Soekarno lebih menekankan pada aksi massa, sedangkan Hatta lebih mengedepankan aspek pendidikan. Hatta menghendaki asas kedaulatan rakyat yang lahir dari buah pencerdasan , sementara Soekarno lebih pada asas persatuan bangsa. Bagi Bung Hatta, persatuan perlu penataan, dan penataan yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan.

Begitu kuatnya perasaan Bung Hatta untuk memajukan bangsanya dengan jalur pendidikan, pencerdasan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bung Hatta meyakini bahwa melalui pendidikan akan lahir bangsa yang mandiri dan maju. Tak Heran mungkin itulah yang terjadi pada negara Jepang, di masa Restorasi Meji yang terkenal. Dalam jangka waktu hanya sekitar 30 tahun, Jepang berhasil berubah dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat. Modernisasi yang dilakukan oleh kaisar Meiji lebih difokuskan kepada bidang pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan secara drastis, wajib belajar bagi penduduk Jepang dan pengiriman pelajar-pelajarnya untuk belajar di Eropa. Namun, tujuannya ialah satu, ketika selesai mencari ilmu, warga negara Jepang diperintahkan pulang untuk membangun Jepang dengan ilmu-ilmu yang didapatkan dari luar.

Kini sudah 112 tahun lamanya, semenjak Hatta dilahirkan, harapan akan lahirnya Bangsa Indonesia yang maju dan mandiri belum dapat terpenuhi. Entah apakah yang akan Bung Hatta lakukan apabila ia masih hidup saat ini. Melihat banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, carut marut politik, jauhnya sistem pendidikan kita dari kata baik, serta masalah-masalah lainnya. Seperti tiada hari tanpa masalah. Mungkin tiap hari akan selalu ada tulisan-tulisan kritisnya di koran-koran seperti yang dia lakukan ketika lengser dari jabatannya sebagai Wakil Presiden dan memilih jalan sebagai warga negara biasa, sebagai intelektual. Ya, sebagai seorang yang terdidik membuat Hatta memiliki pandangan yang jauh untuk bangsanya. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak meninggalkan bangsanya dikala susah, ia rela dipenjarakan dan diasingkan dalam perjuangannya menuju Indonesia yang maju. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak menyalahgunakan kewenangan yang ia miliki, bahkan saat menjabat sebagai Wakil Presiden. Tapi kenyataannya, sejarah mencatat Bung Hatta tetap hidup sederhana dari uang pensiunan. Pernah ada sebuah peristiwa pada saat “Gebyar 100 tahun Bung Hatta, sebuah spanduk yang terpajang di gerbang pintu masuk Kota Bukittingi tertulis kata-kata: “Bung Hatta tidak meninggalkan kekayaan dan tetap miskin sampai akhir hayatnya”.

Seperti kata pepatah, jangan berikan ikan pada seseorang tetapi berikanlah ia pancingan agar ia dapat mencari ikannya sendiri. Tentunya jalan perjuangan pendidikan kita masih sangat panjang dan berat, kita tentu merindukan sekali seorang kaum pelajar seperti Bung Hatta. Belajarlah dari sejarah bangsa ini, karena sejarah kita adalah sejarah luka dan air mata. Melawan lupa! Jadilah kaum intelektual sejati, seperti yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam buku catatan hariannya. Gie mangatakan bahwa kaum intelektual sejati adalah mereka yang terdidik dengan sangat baik, memahami permasalahan sekitarnya lebih baik dari pada orang disekelilingnya, dan menuntut perbaikan pada permasalahan tersebut pada dirinya sendiri. Karena sejatinya kaum lemah menggantungkan mimpi dan harapannya lebih besar kepada mereka yang terdidik.
Dan semoga kita adalah tunas dari mereka yang terdidik... Semoga.
Depok, 5 Mei 2014
Wegit Triantoro
Teknik Industri 2011

Monday, May 05, 2014

#SajakMalam - Tanpa Makna

Aku melihatmu dari kejauhan
Murung seperti tak bertuan
Aku melihatmu dalam bayang mimpi
Mimpi yang kian terasa menggerogoti
Kemana hei mata hati?
Kala mata raga kini yang menjadi pengarah
Kemana pula perginya matahari?
Ketika kebohongan telah tampak dari kelopak matamu yang lebam

Aku tahu kau mencaci maki
Pada guratan tawa dan semburat mendung wajahmu
Aku tahu kau lebih dari tersiksa
Oleh bekas luka yang dengan obat luka tak mampu hilang bekasnya
Dan kini......
Kau biarkan semua jatuh tanpa gaya
Kau biarkan semua hilang tanpa makna
Apakah kau yakin, duhai bintang pujaan hati

Padahal jika kau lihat dengan teliti
Mungkin mata hati dan matahari tetap jujur pada dirinya sendiri
Dirinya yang lama terlupakan atau sengaja dilupakan
Padamu aku berharap sebuah janji

Bahwa kita akan bertemu pada ruang-ruang dalam lubuk hati
Nanti.....

#SajakMalam - Tanpa Makna

Wegit Triantoro, 6 Mei 2014

Kata Mati, Sudah Hati

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”

Negara ini konon adalah negara dengan sumber daya alamnya yang melimpah-ruah. Kata ruah memberikan makna sendiri bahwa sungguh kekayaan alam bangsa ini sungguh sangat kaya raya kuadrat, atau derajat kepangkatan yang lebih besar lainnya. Konon, karena cerita itu nyatanya tak sejalan dengan nasib manusianya. Mungkin teori Parreto dalam kasus ini benar adanya. Bahwa 80% kekayaan negara ini hanya dikuasai atau dinikmati oleh 20% penduduknya. Tapi, apa mungkin teori ini tepat sempurna? Tentu tidak! Bagiku, angka 20% terlalu besar, jika kita mau jujur terhadap diri sendiri maka angka 20% bisa jadi hanya menjadi 2% ?!! Ya, memang begitu adanya nasib Negara kita.

Negara kaya dengan sejuta potensinya, lumpuh karena ketidakadilan merajalela, menguntungkan kaum-kaum kapitalis. Menggoyahkan sendi-sendi humanis. Tentu bukan obrolan baru bahwa bangsa ini telah merdeka lebih dari setengah abad lamanya, 69 tahun. Bahkan untuk sebuah organisasi yang dikatakan negara, umur yang panjang tersebut tidak disyukuri oleh kebanyakan penduduknya.

Kita seolah mensyukuri perkembangan teknologi sebagai kemajuan peradaban manusia, tetapi lupa bahwa sebagian lainnya hidup dengan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan. Mungkin kita seolah bahagia tak terkira, kala uang hasil kerja keras kita terkumpul banyak, lalu kita mampu membeli dan memfoya-foyakan dengan status “hasil kerja sendiri untuk dinikmati sendiri”. Ya lagi-lagi kita lupa bahwa banyak yang bekerja keras namun tak mendapat setimpal dengan hasil kerjanya. Mereka ini melihat tp seolah buta, mendengar tapi seolah tuli, dan merasa tapi seolah mati. Bukankah, banyak hal yang ada diluar kehendak kita? Apakah mimpi untuk menjadikan diri lebih baik dengan penghidupan layak dan mapan adalah salah? Tentu tidak jika kau tanyakan padaku! Bagiku, kesalahan hanyalah alasan bagi mereka yang menutup mata, telinga dan hati. Bagiku kesalahan hanya murni untuk diri pribadi.

Mengapa? Tuhan saja tak kau jadikan perhitungan atas nikmat-nikmatmu yang kau rasakan, bagaimana mungkin kau menjadikan kerja keras sebagai alasan atas sebuah pencapaian? Mungkin benar kata seorang yang tak dikenali namanya, bahwa kelak orang miskin tak akan mampu memakan apa-apa lagi karena tidak ada lagi yang terisisa, kecuali: Orang Kaya.

Mungkinkah kelak kesetaraan akan hadir? Biarpun Negara ada hanya memberikan rasa ketakutan. Bagiku, sekali lagi, Negara mungkin tak lebih dari sekedar organisasi pencari dan penimbun kekayaan rakyat. Mengatasnamakan rakyat sebagai status yang dilindunginya. Menyimbolkan rakyat sebagai asas perjuangan, namun buta dan rakus ketika dihadapkan pada rasa keadilan dan kesejahteraan. Pejabat-pejabat hanyalah tongkat kayu yang kopong, rapuh namun tampilannya menipu. Kita sadar memang tak semua orang sama, tak semuanya memang. Tapi selama slogan-slogan tentang rakyat masih menjadi simbol dari agitasi penipuan massal. Selama setiap orang baik bersembunyi takut menyeru dan merombak segala kegiatan Negara yang rakus. Dan selama hati ini mati dari panggilan humanis-sosial maka selama itu aku tak percaya Negara adalah pelindung. Bagiku hanya langit yang melindungi dengan tulus, berbicara tanpa maksud apa-apa dibelakangnya, dan tanah adalah kejujuran dari kesederhanaan hidup.

Sulit memaknai kemerdekaan, apabila jiwa-jiwa ini masih terbelenggu terhadap egoisme. Namun, ijinkan lah aku bertanya, apakah kau mau menjadi air dan pohon yang mengisi kehidupan diantara langit dan bumi tadi, kawan??? Jawablah dalam hati dan mari kita renungkan nasib Negara ini esok hari.

Dari alam mimpi dimana keajaiban bukan lah keanehan