“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”
Negara ini konon adalah negara
dengan sumber daya alamnya yang melimpah-ruah. Kata ruah memberikan makna
sendiri bahwa sungguh kekayaan alam bangsa ini sungguh sangat kaya raya
kuadrat, atau derajat kepangkatan yang lebih besar lainnya. Konon, karena cerita
itu nyatanya tak sejalan dengan nasib manusianya. Mungkin teori Parreto dalam
kasus ini benar adanya. Bahwa 80% kekayaan negara ini hanya dikuasai atau
dinikmati oleh 20% penduduknya. Tapi, apa mungkin teori ini tepat sempurna?
Tentu tidak! Bagiku, angka 20% terlalu besar, jika kita mau jujur terhadap diri
sendiri maka angka 20% bisa jadi hanya menjadi 2% ?!! Ya, memang begitu adanya
nasib Negara kita.
Negara kaya dengan sejuta
potensinya, lumpuh karena ketidakadilan merajalela, menguntungkan kaum-kaum
kapitalis. Menggoyahkan sendi-sendi humanis. Tentu bukan obrolan baru bahwa
bangsa ini telah merdeka lebih dari setengah abad lamanya, 69 tahun. Bahkan
untuk sebuah organisasi yang dikatakan negara, umur yang panjang tersebut tidak
disyukuri oleh kebanyakan penduduknya.
Kita seolah mensyukuri
perkembangan teknologi sebagai kemajuan peradaban manusia, tetapi lupa bahwa
sebagian lainnya hidup dengan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan. Mungkin kita
seolah bahagia tak terkira, kala uang hasil kerja keras kita terkumpul banyak,
lalu kita mampu membeli dan memfoya-foyakan dengan status “hasil kerja sendiri
untuk dinikmati sendiri”. Ya lagi-lagi kita lupa bahwa banyak yang bekerja
keras namun tak mendapat setimpal dengan hasil kerjanya. Mereka ini melihat tp
seolah buta, mendengar tapi seolah tuli, dan merasa tapi seolah mati. Bukankah,
banyak hal yang ada diluar kehendak kita? Apakah mimpi untuk menjadikan diri
lebih baik dengan penghidupan layak dan mapan adalah salah? Tentu tidak jika
kau tanyakan padaku! Bagiku, kesalahan hanyalah alasan bagi mereka yang menutup
mata, telinga dan hati. Bagiku kesalahan hanya murni untuk diri pribadi.
Mengapa? Tuhan saja tak kau
jadikan perhitungan atas nikmat-nikmatmu yang kau rasakan, bagaimana mungkin
kau menjadikan kerja keras sebagai alasan atas sebuah pencapaian? Mungkin benar
kata seorang yang tak dikenali namanya, bahwa kelak orang miskin tak akan mampu
memakan apa-apa lagi karena tidak ada lagi yang terisisa, kecuali: Orang Kaya.
Mungkinkah kelak kesetaraan akan
hadir? Biarpun Negara ada hanya memberikan rasa ketakutan. Bagiku, sekali lagi,
Negara mungkin tak lebih dari sekedar organisasi pencari dan penimbun kekayaan
rakyat. Mengatasnamakan rakyat sebagai status yang dilindunginya. Menyimbolkan
rakyat sebagai asas perjuangan, namun buta dan rakus ketika dihadapkan pada
rasa keadilan dan kesejahteraan. Pejabat-pejabat hanyalah tongkat kayu yang
kopong, rapuh namun tampilannya menipu. Kita sadar memang tak semua orang sama,
tak semuanya memang. Tapi selama slogan-slogan tentang rakyat masih menjadi
simbol dari agitasi penipuan massal. Selama setiap orang baik bersembunyi takut
menyeru dan merombak segala kegiatan Negara yang rakus. Dan selama hati ini
mati dari panggilan humanis-sosial maka selama itu aku tak percaya Negara
adalah pelindung. Bagiku hanya langit yang melindungi dengan tulus, berbicara
tanpa maksud apa-apa dibelakangnya, dan tanah adalah kejujuran dari
kesederhanaan hidup.
Sulit memaknai kemerdekaan,
apabila jiwa-jiwa ini masih terbelenggu terhadap egoisme. Namun, ijinkan lah
aku bertanya, apakah kau mau menjadi air dan pohon yang mengisi kehidupan
diantara langit dan bumi tadi, kawan??? Jawablah dalam hati dan mari kita
renungkan nasib Negara ini esok hari.
Dari alam mimpi dimana
keajaiban bukan lah keanehan
No comments:
Post a Comment