Monday, May 05, 2014

Kata Mati, Sudah Hati

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”

Negara ini konon adalah negara dengan sumber daya alamnya yang melimpah-ruah. Kata ruah memberikan makna sendiri bahwa sungguh kekayaan alam bangsa ini sungguh sangat kaya raya kuadrat, atau derajat kepangkatan yang lebih besar lainnya. Konon, karena cerita itu nyatanya tak sejalan dengan nasib manusianya. Mungkin teori Parreto dalam kasus ini benar adanya. Bahwa 80% kekayaan negara ini hanya dikuasai atau dinikmati oleh 20% penduduknya. Tapi, apa mungkin teori ini tepat sempurna? Tentu tidak! Bagiku, angka 20% terlalu besar, jika kita mau jujur terhadap diri sendiri maka angka 20% bisa jadi hanya menjadi 2% ?!! Ya, memang begitu adanya nasib Negara kita.

Negara kaya dengan sejuta potensinya, lumpuh karena ketidakadilan merajalela, menguntungkan kaum-kaum kapitalis. Menggoyahkan sendi-sendi humanis. Tentu bukan obrolan baru bahwa bangsa ini telah merdeka lebih dari setengah abad lamanya, 69 tahun. Bahkan untuk sebuah organisasi yang dikatakan negara, umur yang panjang tersebut tidak disyukuri oleh kebanyakan penduduknya.

Kita seolah mensyukuri perkembangan teknologi sebagai kemajuan peradaban manusia, tetapi lupa bahwa sebagian lainnya hidup dengan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan. Mungkin kita seolah bahagia tak terkira, kala uang hasil kerja keras kita terkumpul banyak, lalu kita mampu membeli dan memfoya-foyakan dengan status “hasil kerja sendiri untuk dinikmati sendiri”. Ya lagi-lagi kita lupa bahwa banyak yang bekerja keras namun tak mendapat setimpal dengan hasil kerjanya. Mereka ini melihat tp seolah buta, mendengar tapi seolah tuli, dan merasa tapi seolah mati. Bukankah, banyak hal yang ada diluar kehendak kita? Apakah mimpi untuk menjadikan diri lebih baik dengan penghidupan layak dan mapan adalah salah? Tentu tidak jika kau tanyakan padaku! Bagiku, kesalahan hanyalah alasan bagi mereka yang menutup mata, telinga dan hati. Bagiku kesalahan hanya murni untuk diri pribadi.

Mengapa? Tuhan saja tak kau jadikan perhitungan atas nikmat-nikmatmu yang kau rasakan, bagaimana mungkin kau menjadikan kerja keras sebagai alasan atas sebuah pencapaian? Mungkin benar kata seorang yang tak dikenali namanya, bahwa kelak orang miskin tak akan mampu memakan apa-apa lagi karena tidak ada lagi yang terisisa, kecuali: Orang Kaya.

Mungkinkah kelak kesetaraan akan hadir? Biarpun Negara ada hanya memberikan rasa ketakutan. Bagiku, sekali lagi, Negara mungkin tak lebih dari sekedar organisasi pencari dan penimbun kekayaan rakyat. Mengatasnamakan rakyat sebagai status yang dilindunginya. Menyimbolkan rakyat sebagai asas perjuangan, namun buta dan rakus ketika dihadapkan pada rasa keadilan dan kesejahteraan. Pejabat-pejabat hanyalah tongkat kayu yang kopong, rapuh namun tampilannya menipu. Kita sadar memang tak semua orang sama, tak semuanya memang. Tapi selama slogan-slogan tentang rakyat masih menjadi simbol dari agitasi penipuan massal. Selama setiap orang baik bersembunyi takut menyeru dan merombak segala kegiatan Negara yang rakus. Dan selama hati ini mati dari panggilan humanis-sosial maka selama itu aku tak percaya Negara adalah pelindung. Bagiku hanya langit yang melindungi dengan tulus, berbicara tanpa maksud apa-apa dibelakangnya, dan tanah adalah kejujuran dari kesederhanaan hidup.

Sulit memaknai kemerdekaan, apabila jiwa-jiwa ini masih terbelenggu terhadap egoisme. Namun, ijinkan lah aku bertanya, apakah kau mau menjadi air dan pohon yang mengisi kehidupan diantara langit dan bumi tadi, kawan??? Jawablah dalam hati dan mari kita renungkan nasib Negara ini esok hari.

Dari alam mimpi dimana keajaiban bukan lah keanehan

No comments:

Post a Comment