Sunday, May 11, 2014

#SajakMalam - Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana

Pada yang jatuh terserak
Aku berharap, segeralah lepas dari duka

Pada yang terbias oleh sinar senja
Aku berharap, matahari kembalilah beredar di lintasnya

Karena malam teramat sering mengalirkan duka
Seperti kenangan akankah ia bertahan
Atau perlahan menjelma menjadi lautan

Malam....
Ia kosong bagai cerobong asap tanpa api menyala di tungku
Membawa dan menyajikan sesak di setiap waktu aku merindu

Semesta.....
Ia mencengkramku erat!
Aku tak dapat melepas, melainkan pasrah dipukulnya telak
Aku tejerembab
Mengais, memberontak, mengharap.....

Tapi tak kutemukan maaf

Hanya sesal yang aku keluhkan
Tetapi....
Malam ini tak ku akhiri dengan pertanyaaan
Namun akan ku isi dengan kehangatan kenangan

Karena kini kau telah lupa pada luka lama
Maka dalam gelap aku berdoa......

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Wegit Triantoro - 12 Mei 2014

Saturday, May 10, 2014

#SajakMalam - Elegi Mimpi


Menari
Melangkah pergi
Membawa sejuta mimpi

Tertidur
Sunyi, senyap, hilang
Serasa lupa segala
Padahal semu

Apalah arti memiliki?
Jika pelukan mesranya tak punya arti

Apalah arti cinta sejati?
Jika sejak dikandung, ia ragu dan saling curiga.

Biarkan air bah mengalir
Karena bendungnya tak kan mungkin kita tahan
Biarkan takdir mengukir
Karena langkah kaki selalu mengarah pada suatu jalan

Menatapmu, melahirkan sejuta elegi....

Walau hanya dalam mimpi

Wegit Triantoro - 9 Mei 2014

Thursday, May 08, 2014

Menjajaki Makna Pendidikan Menurut Proklamator: Bung Hatta

"Beberapa waktu lalu saya menulis artikel untuk keperluan koran kampus di FT UI, temanya tentang pendidikan, dalam artikel tersebut ada beberapa hal yang di sunting, namun dalam blog pribadi ini adalah naskah keseluruhan artikel tersebut, ya artikel ini membahas tentang pandangan mengenai pendidikan, secara singkat dari materi yang saya baca tentang Bung Hatta. Selamat membaca"


Bung Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gonang ( 25 sen ), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada halaman yang terlipat, Hatta akan marah sekali.
            Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah. “Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta, putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaanya.”

Pada cuplikan artikel diatas, tampaknya sulit dipercaya bahwa Bung Hatta memiliki koleksi buku sebanyak 30 ribu buah. Kecintaan Bung Hatta pada Buku sangatlah besar, tak heran ada anggapan bahwa jika istri Bung Hatta ada 3, maka yang pertama buku, kedua buku dan ketiga adalah Rahmi. Hatta benar-benar menganggap bahwa Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan solusi kehidupan adalah suatu keniscayaan. Hal ini mempengaruhi pandangannya dalam membangun Indonesia. Baginya, merubah kondisi Negara dari masa imperialisme menuju Negara yang mandiri dan maju perlu dilakukan dengan dasar pendidikan yang kuat, mencerdaskan warga negaranya. Bahkan prinsip inilah yang menjadikan adanya perselisihan antara dirinya dengan sahabatnya, Soekarno. Sebagai sesama proklamator, keduanya sangat berjasa dalam memberikan identitas bangsa dan membawa gerakan Indonesia yang bersatu hingga menuju kemerdekaan. Tapi tak dipungkiri, keduanya memiliki paham yang berbeda. Sejak sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno memilih cara-cara agitasi dalam mempersatukan Bangsa. Bahkan sampai setelah merdeka Bung Karno mengambil langkah untuk melaksanakan apa yang kita kenal sekarang sebagai Demokrasi Terpimpin, yaitu sebuah sistem demokrasi dengan seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya.

Sejak sebelum merdeka Bung Hatta sudah berbeda pemikiran dengan Bung Karno. Perbedaan ini ditunjukkan saat Hatta mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru tahun 1931, yang berbeda haluan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Soekarno pada tahun 1927. PNI Baru bentukan Hatta bukan muncul sebagai partai, melainkan sebagai “pendidikan”. Hatta menilai dengan nama itu, PNI Baru akan menjalani kerja yang lebih berat daripada pekerjaan partai. Karena cara kerja pendidikan tidak melulu mencari kuantitas dalam pergerakan, melainkan kualitas dan kuatnya kerukunan. Baginya, bukan berarti bahwa cara agitasi yang dilakukan oleh Soekarno adalah salah total. Agitasi memang bagus sebagai pembuka jalan, tapi pendidikan yang membimbing rakyat menuju kemajuan! Itulah jalan bersimpang antara asas perjuangan Hatta dan Soekarno. Soekarno lebih menekankan pada aksi massa, sedangkan Hatta lebih mengedepankan aspek pendidikan. Hatta menghendaki asas kedaulatan rakyat yang lahir dari buah pencerdasan , sementara Soekarno lebih pada asas persatuan bangsa. Bagi Bung Hatta, persatuan perlu penataan, dan penataan yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan.

Begitu kuatnya perasaan Bung Hatta untuk memajukan bangsanya dengan jalur pendidikan, pencerdasan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Bung Hatta meyakini bahwa melalui pendidikan akan lahir bangsa yang mandiri dan maju. Tak Heran mungkin itulah yang terjadi pada negara Jepang, di masa Restorasi Meji yang terkenal. Dalam jangka waktu hanya sekitar 30 tahun, Jepang berhasil berubah dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat. Modernisasi yang dilakukan oleh kaisar Meiji lebih difokuskan kepada bidang pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan secara drastis, wajib belajar bagi penduduk Jepang dan pengiriman pelajar-pelajarnya untuk belajar di Eropa. Namun, tujuannya ialah satu, ketika selesai mencari ilmu, warga negara Jepang diperintahkan pulang untuk membangun Jepang dengan ilmu-ilmu yang didapatkan dari luar.

Kini sudah 112 tahun lamanya, semenjak Hatta dilahirkan, harapan akan lahirnya Bangsa Indonesia yang maju dan mandiri belum dapat terpenuhi. Entah apakah yang akan Bung Hatta lakukan apabila ia masih hidup saat ini. Melihat banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, carut marut politik, jauhnya sistem pendidikan kita dari kata baik, serta masalah-masalah lainnya. Seperti tiada hari tanpa masalah. Mungkin tiap hari akan selalu ada tulisan-tulisan kritisnya di koran-koran seperti yang dia lakukan ketika lengser dari jabatannya sebagai Wakil Presiden dan memilih jalan sebagai warga negara biasa, sebagai intelektual. Ya, sebagai seorang yang terdidik membuat Hatta memiliki pandangan yang jauh untuk bangsanya. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak meninggalkan bangsanya dikala susah, ia rela dipenjarakan dan diasingkan dalam perjuangannya menuju Indonesia yang maju. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak menyalahgunakan kewenangan yang ia miliki, bahkan saat menjabat sebagai Wakil Presiden. Tapi kenyataannya, sejarah mencatat Bung Hatta tetap hidup sederhana dari uang pensiunan. Pernah ada sebuah peristiwa pada saat “Gebyar 100 tahun Bung Hatta, sebuah spanduk yang terpajang di gerbang pintu masuk Kota Bukittingi tertulis kata-kata: “Bung Hatta tidak meninggalkan kekayaan dan tetap miskin sampai akhir hayatnya”.

Seperti kata pepatah, jangan berikan ikan pada seseorang tetapi berikanlah ia pancingan agar ia dapat mencari ikannya sendiri. Tentunya jalan perjuangan pendidikan kita masih sangat panjang dan berat, kita tentu merindukan sekali seorang kaum pelajar seperti Bung Hatta. Belajarlah dari sejarah bangsa ini, karena sejarah kita adalah sejarah luka dan air mata. Melawan lupa! Jadilah kaum intelektual sejati, seperti yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam buku catatan hariannya. Gie mangatakan bahwa kaum intelektual sejati adalah mereka yang terdidik dengan sangat baik, memahami permasalahan sekitarnya lebih baik dari pada orang disekelilingnya, dan menuntut perbaikan pada permasalahan tersebut pada dirinya sendiri. Karena sejatinya kaum lemah menggantungkan mimpi dan harapannya lebih besar kepada mereka yang terdidik.
Dan semoga kita adalah tunas dari mereka yang terdidik... Semoga.
Depok, 5 Mei 2014
Wegit Triantoro
Teknik Industri 2011

Monday, May 05, 2014

#SajakMalam - Tanpa Makna

Aku melihatmu dari kejauhan
Murung seperti tak bertuan
Aku melihatmu dalam bayang mimpi
Mimpi yang kian terasa menggerogoti
Kemana hei mata hati?
Kala mata raga kini yang menjadi pengarah
Kemana pula perginya matahari?
Ketika kebohongan telah tampak dari kelopak matamu yang lebam

Aku tahu kau mencaci maki
Pada guratan tawa dan semburat mendung wajahmu
Aku tahu kau lebih dari tersiksa
Oleh bekas luka yang dengan obat luka tak mampu hilang bekasnya
Dan kini......
Kau biarkan semua jatuh tanpa gaya
Kau biarkan semua hilang tanpa makna
Apakah kau yakin, duhai bintang pujaan hati

Padahal jika kau lihat dengan teliti
Mungkin mata hati dan matahari tetap jujur pada dirinya sendiri
Dirinya yang lama terlupakan atau sengaja dilupakan
Padamu aku berharap sebuah janji

Bahwa kita akan bertemu pada ruang-ruang dalam lubuk hati
Nanti.....

#SajakMalam - Tanpa Makna

Wegit Triantoro, 6 Mei 2014

Kata Mati, Sudah Hati

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”

Negara ini konon adalah negara dengan sumber daya alamnya yang melimpah-ruah. Kata ruah memberikan makna sendiri bahwa sungguh kekayaan alam bangsa ini sungguh sangat kaya raya kuadrat, atau derajat kepangkatan yang lebih besar lainnya. Konon, karena cerita itu nyatanya tak sejalan dengan nasib manusianya. Mungkin teori Parreto dalam kasus ini benar adanya. Bahwa 80% kekayaan negara ini hanya dikuasai atau dinikmati oleh 20% penduduknya. Tapi, apa mungkin teori ini tepat sempurna? Tentu tidak! Bagiku, angka 20% terlalu besar, jika kita mau jujur terhadap diri sendiri maka angka 20% bisa jadi hanya menjadi 2% ?!! Ya, memang begitu adanya nasib Negara kita.

Negara kaya dengan sejuta potensinya, lumpuh karena ketidakadilan merajalela, menguntungkan kaum-kaum kapitalis. Menggoyahkan sendi-sendi humanis. Tentu bukan obrolan baru bahwa bangsa ini telah merdeka lebih dari setengah abad lamanya, 69 tahun. Bahkan untuk sebuah organisasi yang dikatakan negara, umur yang panjang tersebut tidak disyukuri oleh kebanyakan penduduknya.

Kita seolah mensyukuri perkembangan teknologi sebagai kemajuan peradaban manusia, tetapi lupa bahwa sebagian lainnya hidup dengan ketidaktahuan dan ketidakberdayaan. Mungkin kita seolah bahagia tak terkira, kala uang hasil kerja keras kita terkumpul banyak, lalu kita mampu membeli dan memfoya-foyakan dengan status “hasil kerja sendiri untuk dinikmati sendiri”. Ya lagi-lagi kita lupa bahwa banyak yang bekerja keras namun tak mendapat setimpal dengan hasil kerjanya. Mereka ini melihat tp seolah buta, mendengar tapi seolah tuli, dan merasa tapi seolah mati. Bukankah, banyak hal yang ada diluar kehendak kita? Apakah mimpi untuk menjadikan diri lebih baik dengan penghidupan layak dan mapan adalah salah? Tentu tidak jika kau tanyakan padaku! Bagiku, kesalahan hanyalah alasan bagi mereka yang menutup mata, telinga dan hati. Bagiku kesalahan hanya murni untuk diri pribadi.

Mengapa? Tuhan saja tak kau jadikan perhitungan atas nikmat-nikmatmu yang kau rasakan, bagaimana mungkin kau menjadikan kerja keras sebagai alasan atas sebuah pencapaian? Mungkin benar kata seorang yang tak dikenali namanya, bahwa kelak orang miskin tak akan mampu memakan apa-apa lagi karena tidak ada lagi yang terisisa, kecuali: Orang Kaya.

Mungkinkah kelak kesetaraan akan hadir? Biarpun Negara ada hanya memberikan rasa ketakutan. Bagiku, sekali lagi, Negara mungkin tak lebih dari sekedar organisasi pencari dan penimbun kekayaan rakyat. Mengatasnamakan rakyat sebagai status yang dilindunginya. Menyimbolkan rakyat sebagai asas perjuangan, namun buta dan rakus ketika dihadapkan pada rasa keadilan dan kesejahteraan. Pejabat-pejabat hanyalah tongkat kayu yang kopong, rapuh namun tampilannya menipu. Kita sadar memang tak semua orang sama, tak semuanya memang. Tapi selama slogan-slogan tentang rakyat masih menjadi simbol dari agitasi penipuan massal. Selama setiap orang baik bersembunyi takut menyeru dan merombak segala kegiatan Negara yang rakus. Dan selama hati ini mati dari panggilan humanis-sosial maka selama itu aku tak percaya Negara adalah pelindung. Bagiku hanya langit yang melindungi dengan tulus, berbicara tanpa maksud apa-apa dibelakangnya, dan tanah adalah kejujuran dari kesederhanaan hidup.

Sulit memaknai kemerdekaan, apabila jiwa-jiwa ini masih terbelenggu terhadap egoisme. Namun, ijinkan lah aku bertanya, apakah kau mau menjadi air dan pohon yang mengisi kehidupan diantara langit dan bumi tadi, kawan??? Jawablah dalam hati dan mari kita renungkan nasib Negara ini esok hari.

Dari alam mimpi dimana keajaiban bukan lah keanehan

Sunday, March 02, 2014

Tak Perlu Tertawa atau Menangis


Sore ini cuaca sangat cerah, langit menguning di ufuk barat. Tak seperti biasanya, beberapa hari belakangan, sore menjadi mendung dan suram karena masih banyak pemberitaan mengenai banjir, letusan gunung, atau kasus-kasus korupsi penyelenggara Negara dan impotensi hukum yang mengisi pemberitaan di media.

Sore ini berbeda. Cuaca yang indah ini mendukung dan membuat hati kian semangat melakukan suatu hal yang menyegarkan. Olahraga sore mungkin. Mencoba mengalihkan pikiran dari kesibukan rutinitas perkuliahan, organisasi, tugas jurnal, atau sekedar berkeluh kesah karena belum sempat sarapan. Ya esok adalah senin, dan seperti kebanyakan, hari senin dianggap sebagai momok karena kita akan kembali pada rutinitas yang biasa, bagai gondola yang bergerak pada lintasan yang itu-itu saja. Tanpa kita sadari bahwasah-nya awal minggu akan sangat menentukan perjalanan atas konsepsi yang kita rancang selama satu minggu ke depan, satu bulan ke depan, bahkan untuk seterusnya...

Aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akan melakukan olahragi di Minggu sore ini, bahkan mungkin kita tidak akan pernah sadar apa yang akan kita hadapi pada sore hari tiap harinya bahkan apa yang akan terjadi 5 menit ke depan dalam prosesi kehidupan tak akan pernah kita ketahui. Tapi kumantapkan hati untuk mengeluarkan sepedaku yang tampak berdebu dari gudang dan memompa ban yang kelihatan kempes karena sudah lama tidak digunakan. Setelah rampung dengan semua persiapan, sepatu kat, rantai sepeda yang telah di periksa putarannya, jaket hoody dan tak lupa playlist lagu dari handphone disambungkan dengan headset dan sebuah buku bacaan yang sedikit lagi rampung aku selesaikan (berjaga-jaga apabila lelah dan tidak ada kerjaan bisa saja ku baca), aku meluncur mengayuh sepeda membelah keramaian jalan raya di Minggu sore di antara para pemburu liburan mingguan lainnya yang tinggal hitungan jam lagi...

Ya, sore itu jalan raya lebih padat daripada biasanya. Maklum, liburan yang mereka dapatkan hanya akan bertahan selama beberapa jam ke depan sebelum mereka memasuki rentetan aktifitas saat Senin menyapa esok hari. Sama seperti ku yang tanpa motivasi yang jelas mengayuh sepeda diantara kerumunan kendaraan bermotor, berebut jatah liburan ditemani dengan cuaca yang cerah dan lantunan lagu dari music player yang sedari awal berangkat telah menemaniku. Sore ini memang lain dari biasanya kawan, udaranya sejuk, langitnya cerah dan sedikit menguning karena sang surya akan segera kembali ke peristirahatannya di bagian barat. Seperti memberikan kita suatu kabar bahwa setiap kita pasti akan beristirahat, melepaskan penat setelah beraktifitas. Bahkan beristirahat untuk selamanya setelah “kepenatan” yang dinamakan kehidupan. Bukan kah begitu, tak satu pun di Bumi ini yang tak beristirahat bukan? Bahkan membaca tulisan ini bisa saja menjadi bentuk istirahat dari suatu ha; yang sedang memenuhi pikiran kita.

Mungkin saja...

Dan setelah 30 menit lebih ku kayuh sepedaku ini, sampailah aku pada tujuan keberangkatanku sejak awal. Salah satu kawasan terkenal, institusi penyandang nama Negara ini. Sekaligus tempat dimana ribuan pemuda mencari ilmu dan pengalaman sebelum akhirnya menapaki jejak kehidupan yang sesungguhnya, termasuk diriku ini. Ya disinilah aku akan menghabiskan waktuku selama 4 tahun jika sesuai dengan perencanaanku, mengais peruntungan, berharap kelak setelah lulus akan kutebus semua pahit perjuanganku dengan manisnya “kesuksesan”. Kampus yang dikatakan sebagai kampus perjuangan, Universitas Indonesia.

Kali ini aku sudah berhadapan langsung dengan gerbang utama kampus ini, berdiri gagah dengan beberapa penjaga masih melakukan tugasnya mengawasi orang yang keluar masuk ke kawasan ini layaknya perumahan elite anggota dewan yang terhormat. Hanya saja mungkin perbedaannya kampus ini masih terbuka untuk umum, dan karena merupakan instansi pendidikan maka kawasan ini juga menjadi suatu percontohan bagaimana kaum terdiidik atau kaum intelegensia bagi masyarakat umum. Kawasan ini adalah harapan bangsa ini, harapan dari bangsa yang namanya bersatu dengan nama instasi ini, yaitu Indonesia. Dan seperti semua perguruan tinggi lainnya yang tersebar di seluruh negeri ini, harapan itu akan tetap sama. Bahwa masa depan dan cita-cita bangsa ini tergantung pada bagaimana para pejuang muda dari kampus bisa memaksimalkan potensinya setelah mengenyam pendidikan tinggi yang mungkin hanya dirasakan 2% saja dari seluruh penduduk negeri ini.

Namun kawan, nampaknya mimpi tadi tak seindah teorinya. Saat ini, di era modernisme, di era globalisasi, di era ketika paham-paham asing lebih mengakar daripada nilai dan norma bangsa, nampaknya mimpi itu terasa sulit dicapai. Kita telah tergerus arus modern ini, terkikis dengan paham kapitalis, ketika sumber kekayaan bangsa hanya dimiliki oleh 0,002% penduduknya. Dan apa yang lebih parah kawan? Yang lebih parah adalah ketika kaum inteleginsia bangsa juga ikut termakan budaya ini, saat mereka lulus yang dikejar hanyalah manisnya “kesuksesan” untuk diri sendiri atau hanya golongan. Nampaknya proses dan mimpi besar yang diharapkan pada 2% penduduk yang mampu merasakan pendidikan tinggi juga tidak dimaknai oleh seluruh 2% tersebut.

Sejenak pandanganku teralihkan, tidak terasa bahwa aku telah memasuki bagian kampus yang paling ramai dilalui mahasiswa, di depan halte stasiun UI. Disana tampak jelas, wajah-wajah penerus negeri ini, wajah yang menunggu dan menanti kedatangan kendaraan yang akan menjemput mereka, gelisah mungkin karena tugas-tugas yang menunggu harus diselesaikan di kosan, dan teringat bahwa besok sudah harus berjibaku dengan padatnya kuliah aktifitas lain seperti lomba-lomba, organisasi, kepanitiaan atau buat mereka yang sudah lulus dan menanti lamaran pekerjaan memanggil. Hal ini sama dengan wajah-wajah penduduk negeri ini, yang mungkin masih berada pada kondisi yang kurang layak, menunggu dan menanti perubahan hidup mereka dengan gelisah, berharap kelak negeri ini dapat memberikan suatu arti lebih daripada hanya pengumuman bahwa kita telah merdeka dari merdeka dari penjajahan kolonial, namun ternyata masih dalam bentuk penjajahan lainnya yang lebih kejam, yaitu kebodohan.

Bagiku sendiri, kebodohan yang menjajah negeri ini dapat dibagi 2 kawan. pertama memang kebodohan karena masih banyak putra-putri bangsa yang belum bisa merasakan pendidikan tinggi seperti kita ini mahasiswa, kualitas pendidikan yang tidak merata menyebabkan bangsa kita sulit mengembangkan diri. Kita mungkin terlalu bangga saat dikatakan bahwa tanah kita ini kaya, bahkan dalam suatu nyanyian dikatan bahwa tongkat dan kayu bisa jadi tanaman. Tak terhitung nilai Sumber Daya Alam yang kita miliki, namun pemerataan kualitas pendidikan yang timpang menjadi kendala atas mutu Sumber Daya Manusianya. Sedih sekali kawan mengingat bahwa dibagian timur negeri ini, mungkin masih banyak saudara kita yang belum bisa merasakan kehidupan yang layak. Bahkan tak usah jauh-jauh kawan, tidak sampai 3 jam dari Ibu Kota Negara bisa saja kita temukan hal serupa...

Namun, biarpun begitu masih ada suatu kebodohan yang lebih parah yang dilanda oleh negeri ini kawan. Apa itu? Itu adalah ketika orang-orang yang dikatan pintar di negeri ini malah dengan tanpa perasaan bersalah membodoh-bodohi bangsa sendiri demi perut dan kenyamanan diri sendiri atau segilintir golongan saja. Kita tertelan pada suatu kasus kebodohan yang mengakar. Terkadang hanya memikirkannya saja aku pesimis kawan, sedih bahkan tak sampai sepatah kata pun dapat mengungkapkan betapa carut-marutnya kondisi negeri kita ini kawan jika kita mau berpikir lebih jauh dan dalam.

Aku meyakini bahwa banyak sekali orang pintar dan cerdas di negeri ini, banyak sekali mahasiswa-mahasiswa bernilai lebih dari emas karena kepintarannya dan ia adalah putra bangsa. Lahir dan besar di tanah air. Di bumi pertiwi. Ia berbahasa Indonesia, bahkan mengenyam pendidikan di instasi milik pemerintah yang sebenarnya dibiayai atau setidaknya di subsidi oleh uang rakyat... Sehingga salah kah apabila tadi dikatakan bahwa banyak orang yang menunggu dan menanti dengan gelisah perubahan pada negeri ini, dan harapan itu tentu saja diemban lebih besar oleh orang yang pintar dan memiliki kelebihan untuk menjalankan perubahan yang dimaksud. Karena kaum intelegensia yang benar adalah orang yang memiliki kelebihan lebih atas orang pada umumnya, dan menuntut lebih atas dirinya sendiri bahwa dialah yang mampu menjalankan dan mengemban tuntutan itu. Bukan mereka yang membodoh-bodohi bangsanya karena ketamakan.

Hari mulai gelap, tak terpikir sejauh ini olehku, bahwa jalan-jalan sore yang seharusnya tenang dan damai dapat menjadi sarana berpikir kritis yang baik. Melihat kejadian disekitar, melihat orang-orang disekitar, mengoreksi diri sendiri dari tuduhan dan pandangan yang sama atas koreksi besar-besaran kita terhadap orang lain. Ternyata benar kawan, mengoreksi orang lain itu lebih mudah daripada mengoreksi diri. Aku pun ternyata belum sejauh itu berbuat banyak untuk negeri. Bahkan aku pun hanya mahasiswa biasa saja, tanpa pengaruh dan kekuatan untuk berbuat besar. Lalu buat apakah khayalanku ini? Sejauh ini? Apakah ini hanya akan menjadi kontradiksi dan apakah aku nantinya akan berubah menjadi orang yang hipokrit dan paradoks???

Tetiba saja, playlist-ku memutarkan lagu berjudul “Cerita Tentang Gunung dan Laut”. Aku sudah sering mendengarkan lagu ini, belakangan memang aku tertarik dengan band yang menyanyikannya yaitu Payung Teduh, aku rasa band ini punya ciri khas yang unik dan keorisinalan lagu mereka memiliki makna tertentu, tidak berusaha menjadi band dengan pendapatan tinggi yang mengikuti arus industry music kini yang terlihat “berlebihan” bahkan kehilangan nilai seni dan puitisnya.

Dibagian liriknya kutemui kata-kata seperti berikut “tak perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut, karena gunung dan laut tak punya rasa...”. Sekilas terpikir ulang oleh ku kembali atas semua hal yang kupikirkan sejak tadi mengenai mimpi ini, mengenai negeri ini. Ya, tak perlu lah kita tertawa atau menangis pada kejadian yang menimpa Negeri ini. Negeri ini tak butuh tawa kita, atau tangis kita, penduduknya dan isinya lebih membutuhkan tindakan kita. Bahkan sekecil apapun itu. Bahkan selemah apapun itu. Selama kita melakukannya dengan tulus, selama niat kita lurus. Tak perlu dulu kita menjadi besar untuk membuat negeri ini besar. Negeri ini mungkin sudah cukup dengan segala hipokrit dan pembodohan yang terjadi. Kita tahu jelas bahwa kapitalisme telah banyak merubah wajah-wajah bangsa kita yang dari ramah-tamah menjadi ramah-tamak (ramah namun ada maunya dan ketamakan lebih mendominasi). Aku tak pernah membayangkan apakah nantinya aku akan bisa berbuat banyak untuk Negeri ini, tapi ingin sekali kusaksikan perjuanganku meraih manisnya “kesuksesan” setelah lulus nanti bukan hanya kesuksesan yang diukur dari materi. Aku berharap juga pada mereka yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajak dan mempengaruhi, mereka yang juga hatinya baik dan tulus. Agar mau menjadi bagian dari pemerintahan ini. Terlalu banyak orang baik kini yang sudah tidak peduli lagi, mempertahankan status baiknya dengan tidak ikut turun ke dalam “lumpur” pemerintahan yang dikatakan kotor dan busuk. Tetapi mungkin sekedar mengulang kembali pernyataan Soe Hok Gie, ia mengatakan bahwa menurutnya politik adalah barang yang paling kotor, namun ketika kita tidak ada jalan lain lagi maka terjunlah. Dan katakanlah benar apabila itu adalah kebenaran dan katakanlah salah apabila itu adalah kesalahan. Apakah ada yang lebih puitis daripada kebenaran, kawan? 

Waktu sudah mendekati maghrib, sayup-sayup suasana senja yang diikuti tenggelamnya matahari di ufuk barat mulai terasa. Dan setelah membeli minuman untuk mengusir rasa dahaga, ku kayuh kembali sepedaku menuju perjalanan pulang. Hari ini memang berbeda dari biasanya kawan, semoga aka nada hari yang berbeda seperti ini juga untukmu kawan.

                     Salam dari kamarku, bersama heningnya malam

Monday, January 13, 2014

Saya Bantu Turun Tangan - Sebuah Pandangan dan Alasan

Baru-baru ini saya memutuskan untuk menjadi relawan Turun Tangan untuk Pak Anies Baswedan untuk maju menjadi calon presiden hasil konvensi parta demokrat....

Saya sudah mengikuti banyak perkembangan berita dan rekam jejak beliau pada masa-masa sebelumnya, saya pun kaget dan terperangah bahwa masih ada orang baik dan bersih di Republik ini. Gak nyangka, saya kira orang-orang hebat dan berani tampil telah habis pada masa 1960an. Ketika banyak cendekiawan dan tokoh-tokoh hebat dari Indonesia yang saya bilang mampu disejajarkan dengan tokoh dunia. Dan mengenai hal ni saya ingin menuliskannya bagaimana saya mendukung dan pandangan saya tentang gerakan Turun Tangan yang dibawa oleh Pak Anies. Berikut adalah aasan mengapa saya mendukung gerakan turun tangan ini yang saya tuliskan serupa pada lembar pendaftaran :

Saya ingin masyarakat indonesia cerdas, mahasiswanya, gurunya, dosennya, pejabatnya, rakyatnya, dan semua kompenen Bangsa ini cerdas. Saya tidak ingin nanti yang dikenal dari bangsa ini hanyalah polemik-polemik bodoh, yang malah mengerdilkan diri dan menjadi bahan cerita selanjutnya untuk anak-cucu saya nanti. Saya mau anak-cucu saya nanti melihat bahwa bangsa ini hebat dan kuat karena mampu bertahan dari gempuran proses pengerdilan diri tersebut. Saya mau buktikan bahwa Indonesia bukan sekedar Negeri yg besar karena Sumber Daya Alamnya, tapi juga besar karena Sumber Daya Manusianya juga cerdas dan berkarakter.

Saya sedih ketika melihat adanya kaum marginal hanya bisa menonton ketidakadilan melalui layar kehidupan mereka. Mereka tak tahu apa arti permerintah yg sebenernya, apa arti itu negara, bagi mereka hanya menjalankan roda kehidupan bagaiamana hari ini bisa makan adalah suatu hal yg tak habis mereka perjuangkan tiap harinya. Apakah ini yang menjadi landasan Pemerintah kita, Nergara kita dalam "mengurus" dan "melindungi" rakyatnya? Apakah rakyat hanya dipakai sebagai media untuk mendapatkan kursi pemerintahan?? Saya heran. Saya seorang mahasiswa, namun dari begitu banyaknya kaum penerus bangsa yang cerdas ini, sudah sangat sedikit yang beranggapan bahwa sukses bukan hanya lulus kuliah lalu mendapatkan pekerjaan layak. Tapi sukses adalah mampu berkontribusi lebih untuk orang banyak, untuk bangsa dan negara. Tetapi hal ini wajar dimengerti karena peradaban yang dibentuk oleh para elite bangsa adalah peradaban memperkaya diri. Hilang sudah sosok-sosok bangsa, cendekiawan muda yang dulu merupakan murtiara bangsa ini. Dari kalangan pemimpin bangsa sebut saja mutiara hebat seperti sutan sjahrir, bung karno, bung hatta, dll. Kalangan penyelenggara negara seperti pak hoegeng, seorang kapolri yang bersih dan jujur. Dari kalangan cendekiawan muda seperti ahmad wahib dan soe hok gie. Mereka adalah orang-orang yang membanggakan negera ini karena dedikasinya untuk bangsa. Mereka yang memeberi aura positif dan membuat rakyat Indonesia bangga memiliki putra bangsa seperti mereka, orang yang hebat yang pemikirannya dan tindakanannya selevel dengan tokoh-tokoh hebat dunia.

Dan saya melihat sosok itu pada Pak Anies Baswedan. Ya memang betul, sosok itu tak hanya milik Pak Anies sendiri di Negara ini. Banyak sosok-sosok hebat lainnya yang ada dari belahan indonesia paling barat yaitu sabang hingga merauke. Tapi Pak Anies adalah sosok bersih yang dengan terbuka menyatakan keinginannya untuk maju membenahi Negeri. Orang seperti ini yang jarang ada, bersih dan berani tampil. Tak banyak yang seperti itu. Dan saya rasa ketika sosok seperti Pak Anies ini mampu menjadi pemimpin bangsa, maka akan banyak orang-orang baik lainnya yang hebat akan muncul. Dan semoga bangsa ini bisa lebih baik dengan semangat positif yang mulai berkembang di kalangan masyarakat karena pemimpinnya adalah suri tauladan yang baik.

Saya siap membantu dan saya ingin berkontribusi lebih banyak lagi untuk Negeri ini, untuk Bangsa ini :)