Sunday, March 02, 2014

Tak Perlu Tertawa atau Menangis


Sore ini cuaca sangat cerah, langit menguning di ufuk barat. Tak seperti biasanya, beberapa hari belakangan, sore menjadi mendung dan suram karena masih banyak pemberitaan mengenai banjir, letusan gunung, atau kasus-kasus korupsi penyelenggara Negara dan impotensi hukum yang mengisi pemberitaan di media.

Sore ini berbeda. Cuaca yang indah ini mendukung dan membuat hati kian semangat melakukan suatu hal yang menyegarkan. Olahraga sore mungkin. Mencoba mengalihkan pikiran dari kesibukan rutinitas perkuliahan, organisasi, tugas jurnal, atau sekedar berkeluh kesah karena belum sempat sarapan. Ya esok adalah senin, dan seperti kebanyakan, hari senin dianggap sebagai momok karena kita akan kembali pada rutinitas yang biasa, bagai gondola yang bergerak pada lintasan yang itu-itu saja. Tanpa kita sadari bahwasah-nya awal minggu akan sangat menentukan perjalanan atas konsepsi yang kita rancang selama satu minggu ke depan, satu bulan ke depan, bahkan untuk seterusnya...

Aku tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akan melakukan olahragi di Minggu sore ini, bahkan mungkin kita tidak akan pernah sadar apa yang akan kita hadapi pada sore hari tiap harinya bahkan apa yang akan terjadi 5 menit ke depan dalam prosesi kehidupan tak akan pernah kita ketahui. Tapi kumantapkan hati untuk mengeluarkan sepedaku yang tampak berdebu dari gudang dan memompa ban yang kelihatan kempes karena sudah lama tidak digunakan. Setelah rampung dengan semua persiapan, sepatu kat, rantai sepeda yang telah di periksa putarannya, jaket hoody dan tak lupa playlist lagu dari handphone disambungkan dengan headset dan sebuah buku bacaan yang sedikit lagi rampung aku selesaikan (berjaga-jaga apabila lelah dan tidak ada kerjaan bisa saja ku baca), aku meluncur mengayuh sepeda membelah keramaian jalan raya di Minggu sore di antara para pemburu liburan mingguan lainnya yang tinggal hitungan jam lagi...

Ya, sore itu jalan raya lebih padat daripada biasanya. Maklum, liburan yang mereka dapatkan hanya akan bertahan selama beberapa jam ke depan sebelum mereka memasuki rentetan aktifitas saat Senin menyapa esok hari. Sama seperti ku yang tanpa motivasi yang jelas mengayuh sepeda diantara kerumunan kendaraan bermotor, berebut jatah liburan ditemani dengan cuaca yang cerah dan lantunan lagu dari music player yang sedari awal berangkat telah menemaniku. Sore ini memang lain dari biasanya kawan, udaranya sejuk, langitnya cerah dan sedikit menguning karena sang surya akan segera kembali ke peristirahatannya di bagian barat. Seperti memberikan kita suatu kabar bahwa setiap kita pasti akan beristirahat, melepaskan penat setelah beraktifitas. Bahkan beristirahat untuk selamanya setelah “kepenatan” yang dinamakan kehidupan. Bukan kah begitu, tak satu pun di Bumi ini yang tak beristirahat bukan? Bahkan membaca tulisan ini bisa saja menjadi bentuk istirahat dari suatu ha; yang sedang memenuhi pikiran kita.

Mungkin saja...

Dan setelah 30 menit lebih ku kayuh sepedaku ini, sampailah aku pada tujuan keberangkatanku sejak awal. Salah satu kawasan terkenal, institusi penyandang nama Negara ini. Sekaligus tempat dimana ribuan pemuda mencari ilmu dan pengalaman sebelum akhirnya menapaki jejak kehidupan yang sesungguhnya, termasuk diriku ini. Ya disinilah aku akan menghabiskan waktuku selama 4 tahun jika sesuai dengan perencanaanku, mengais peruntungan, berharap kelak setelah lulus akan kutebus semua pahit perjuanganku dengan manisnya “kesuksesan”. Kampus yang dikatakan sebagai kampus perjuangan, Universitas Indonesia.

Kali ini aku sudah berhadapan langsung dengan gerbang utama kampus ini, berdiri gagah dengan beberapa penjaga masih melakukan tugasnya mengawasi orang yang keluar masuk ke kawasan ini layaknya perumahan elite anggota dewan yang terhormat. Hanya saja mungkin perbedaannya kampus ini masih terbuka untuk umum, dan karena merupakan instansi pendidikan maka kawasan ini juga menjadi suatu percontohan bagaimana kaum terdiidik atau kaum intelegensia bagi masyarakat umum. Kawasan ini adalah harapan bangsa ini, harapan dari bangsa yang namanya bersatu dengan nama instasi ini, yaitu Indonesia. Dan seperti semua perguruan tinggi lainnya yang tersebar di seluruh negeri ini, harapan itu akan tetap sama. Bahwa masa depan dan cita-cita bangsa ini tergantung pada bagaimana para pejuang muda dari kampus bisa memaksimalkan potensinya setelah mengenyam pendidikan tinggi yang mungkin hanya dirasakan 2% saja dari seluruh penduduk negeri ini.

Namun kawan, nampaknya mimpi tadi tak seindah teorinya. Saat ini, di era modernisme, di era globalisasi, di era ketika paham-paham asing lebih mengakar daripada nilai dan norma bangsa, nampaknya mimpi itu terasa sulit dicapai. Kita telah tergerus arus modern ini, terkikis dengan paham kapitalis, ketika sumber kekayaan bangsa hanya dimiliki oleh 0,002% penduduknya. Dan apa yang lebih parah kawan? Yang lebih parah adalah ketika kaum inteleginsia bangsa juga ikut termakan budaya ini, saat mereka lulus yang dikejar hanyalah manisnya “kesuksesan” untuk diri sendiri atau hanya golongan. Nampaknya proses dan mimpi besar yang diharapkan pada 2% penduduk yang mampu merasakan pendidikan tinggi juga tidak dimaknai oleh seluruh 2% tersebut.

Sejenak pandanganku teralihkan, tidak terasa bahwa aku telah memasuki bagian kampus yang paling ramai dilalui mahasiswa, di depan halte stasiun UI. Disana tampak jelas, wajah-wajah penerus negeri ini, wajah yang menunggu dan menanti kedatangan kendaraan yang akan menjemput mereka, gelisah mungkin karena tugas-tugas yang menunggu harus diselesaikan di kosan, dan teringat bahwa besok sudah harus berjibaku dengan padatnya kuliah aktifitas lain seperti lomba-lomba, organisasi, kepanitiaan atau buat mereka yang sudah lulus dan menanti lamaran pekerjaan memanggil. Hal ini sama dengan wajah-wajah penduduk negeri ini, yang mungkin masih berada pada kondisi yang kurang layak, menunggu dan menanti perubahan hidup mereka dengan gelisah, berharap kelak negeri ini dapat memberikan suatu arti lebih daripada hanya pengumuman bahwa kita telah merdeka dari merdeka dari penjajahan kolonial, namun ternyata masih dalam bentuk penjajahan lainnya yang lebih kejam, yaitu kebodohan.

Bagiku sendiri, kebodohan yang menjajah negeri ini dapat dibagi 2 kawan. pertama memang kebodohan karena masih banyak putra-putri bangsa yang belum bisa merasakan pendidikan tinggi seperti kita ini mahasiswa, kualitas pendidikan yang tidak merata menyebabkan bangsa kita sulit mengembangkan diri. Kita mungkin terlalu bangga saat dikatakan bahwa tanah kita ini kaya, bahkan dalam suatu nyanyian dikatan bahwa tongkat dan kayu bisa jadi tanaman. Tak terhitung nilai Sumber Daya Alam yang kita miliki, namun pemerataan kualitas pendidikan yang timpang menjadi kendala atas mutu Sumber Daya Manusianya. Sedih sekali kawan mengingat bahwa dibagian timur negeri ini, mungkin masih banyak saudara kita yang belum bisa merasakan kehidupan yang layak. Bahkan tak usah jauh-jauh kawan, tidak sampai 3 jam dari Ibu Kota Negara bisa saja kita temukan hal serupa...

Namun, biarpun begitu masih ada suatu kebodohan yang lebih parah yang dilanda oleh negeri ini kawan. Apa itu? Itu adalah ketika orang-orang yang dikatan pintar di negeri ini malah dengan tanpa perasaan bersalah membodoh-bodohi bangsa sendiri demi perut dan kenyamanan diri sendiri atau segilintir golongan saja. Kita tertelan pada suatu kasus kebodohan yang mengakar. Terkadang hanya memikirkannya saja aku pesimis kawan, sedih bahkan tak sampai sepatah kata pun dapat mengungkapkan betapa carut-marutnya kondisi negeri kita ini kawan jika kita mau berpikir lebih jauh dan dalam.

Aku meyakini bahwa banyak sekali orang pintar dan cerdas di negeri ini, banyak sekali mahasiswa-mahasiswa bernilai lebih dari emas karena kepintarannya dan ia adalah putra bangsa. Lahir dan besar di tanah air. Di bumi pertiwi. Ia berbahasa Indonesia, bahkan mengenyam pendidikan di instasi milik pemerintah yang sebenarnya dibiayai atau setidaknya di subsidi oleh uang rakyat... Sehingga salah kah apabila tadi dikatakan bahwa banyak orang yang menunggu dan menanti dengan gelisah perubahan pada negeri ini, dan harapan itu tentu saja diemban lebih besar oleh orang yang pintar dan memiliki kelebihan untuk menjalankan perubahan yang dimaksud. Karena kaum intelegensia yang benar adalah orang yang memiliki kelebihan lebih atas orang pada umumnya, dan menuntut lebih atas dirinya sendiri bahwa dialah yang mampu menjalankan dan mengemban tuntutan itu. Bukan mereka yang membodoh-bodohi bangsanya karena ketamakan.

Hari mulai gelap, tak terpikir sejauh ini olehku, bahwa jalan-jalan sore yang seharusnya tenang dan damai dapat menjadi sarana berpikir kritis yang baik. Melihat kejadian disekitar, melihat orang-orang disekitar, mengoreksi diri sendiri dari tuduhan dan pandangan yang sama atas koreksi besar-besaran kita terhadap orang lain. Ternyata benar kawan, mengoreksi orang lain itu lebih mudah daripada mengoreksi diri. Aku pun ternyata belum sejauh itu berbuat banyak untuk negeri. Bahkan aku pun hanya mahasiswa biasa saja, tanpa pengaruh dan kekuatan untuk berbuat besar. Lalu buat apakah khayalanku ini? Sejauh ini? Apakah ini hanya akan menjadi kontradiksi dan apakah aku nantinya akan berubah menjadi orang yang hipokrit dan paradoks???

Tetiba saja, playlist-ku memutarkan lagu berjudul “Cerita Tentang Gunung dan Laut”. Aku sudah sering mendengarkan lagu ini, belakangan memang aku tertarik dengan band yang menyanyikannya yaitu Payung Teduh, aku rasa band ini punya ciri khas yang unik dan keorisinalan lagu mereka memiliki makna tertentu, tidak berusaha menjadi band dengan pendapatan tinggi yang mengikuti arus industry music kini yang terlihat “berlebihan” bahkan kehilangan nilai seni dan puitisnya.

Dibagian liriknya kutemui kata-kata seperti berikut “tak perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut, karena gunung dan laut tak punya rasa...”. Sekilas terpikir ulang oleh ku kembali atas semua hal yang kupikirkan sejak tadi mengenai mimpi ini, mengenai negeri ini. Ya, tak perlu lah kita tertawa atau menangis pada kejadian yang menimpa Negeri ini. Negeri ini tak butuh tawa kita, atau tangis kita, penduduknya dan isinya lebih membutuhkan tindakan kita. Bahkan sekecil apapun itu. Bahkan selemah apapun itu. Selama kita melakukannya dengan tulus, selama niat kita lurus. Tak perlu dulu kita menjadi besar untuk membuat negeri ini besar. Negeri ini mungkin sudah cukup dengan segala hipokrit dan pembodohan yang terjadi. Kita tahu jelas bahwa kapitalisme telah banyak merubah wajah-wajah bangsa kita yang dari ramah-tamah menjadi ramah-tamak (ramah namun ada maunya dan ketamakan lebih mendominasi). Aku tak pernah membayangkan apakah nantinya aku akan bisa berbuat banyak untuk Negeri ini, tapi ingin sekali kusaksikan perjuanganku meraih manisnya “kesuksesan” setelah lulus nanti bukan hanya kesuksesan yang diukur dari materi. Aku berharap juga pada mereka yang mempunyai kemampuan lebih untuk mengajak dan mempengaruhi, mereka yang juga hatinya baik dan tulus. Agar mau menjadi bagian dari pemerintahan ini. Terlalu banyak orang baik kini yang sudah tidak peduli lagi, mempertahankan status baiknya dengan tidak ikut turun ke dalam “lumpur” pemerintahan yang dikatakan kotor dan busuk. Tetapi mungkin sekedar mengulang kembali pernyataan Soe Hok Gie, ia mengatakan bahwa menurutnya politik adalah barang yang paling kotor, namun ketika kita tidak ada jalan lain lagi maka terjunlah. Dan katakanlah benar apabila itu adalah kebenaran dan katakanlah salah apabila itu adalah kesalahan. Apakah ada yang lebih puitis daripada kebenaran, kawan? 

Waktu sudah mendekati maghrib, sayup-sayup suasana senja yang diikuti tenggelamnya matahari di ufuk barat mulai terasa. Dan setelah membeli minuman untuk mengusir rasa dahaga, ku kayuh kembali sepedaku menuju perjalanan pulang. Hari ini memang berbeda dari biasanya kawan, semoga aka nada hari yang berbeda seperti ini juga untukmu kawan.

                     Salam dari kamarku, bersama heningnya malam