Wednesday, January 16, 2013

Donna Donna ....

On a wagon bound for marketThere's a calf with a mournful eyeHigh above him there's a swallowWinging swiftly through the sky

How the winds are laughingThey laugh with all their mightLaugh and laugh the whole day throughAnd half the summer's night

Donna, Donna, Donna, DonnaDonna, Donna, Donna, DonDonna, Donna, Donna, DonnaDonna, Donna, Donna, Don

"Stop complaining", said the farmerWho told you a calf to be?Why don't you have wings to fly withLike the swallow so proud and free?

How the winds are laughingThey laugh with all their mightLaugh and laugh the whole day throughAnd half the summer's night

Donna, Donna, Donna, DonnaDonna, Donna, Donna, DonDonna, Donna, Donna, DonnaDonna, Donna, Donna, Don

Calves are easily bound and slaughteredNever knowing the reason whyBut whoever treasures freedomLike the swallow has learned to fly

How the winds are laughingThey laugh with all their mightLaugh and laugh the whole day throughAnd half the summer's night

Donna, Donna, Donna, DonnaDonna, Donna, Donna, DonDonna, Donna, Donna, DonnaDonna, Donna, Donna, Don



Soal Nurani

Kejadian akhir-akhir ini sungguh sangat mengiris hati dan nurani. permasalahan penggusuran pedagang kaki lima di stasiun jabodetabek, banjir langganan yang mengepung jakarta dan membuat ibu kota “lumpuh” dari aktivitasnya yang padat, kasus vonis angelina sondakh yang menuai kritik karena dinyatakan ringan oleh beberapa kalangan, sampai kasus “candaan” calon hakim agung yang merendahkan korban pemerkosaan. Semua kejadian yang tak mengenakkan ini terjadi dalam rentang waktu yang saling berdekatan dalam sepekan terakhir ini. Ironi memang. Negeri ini seolah sedang dihadapkan pada suatu permasalahan kompleks dari mulai moral sampai bencana nasional. Permasalahan yang terjadi juga sering tak dapat diselesaikan, seolah ada saja hal yang menjadi penghambat atau mungkin bahkan penghalang? 

Saya tak tahu kenapa negeri ini selalu di uji dengan serentetan masalah yang begitu kompleks. Seperti selalu saja ada dan mengalir bagai air, tanpa bisa dibendung atau bahkan dihentikan. Saya sungguh mengira bahwa ini semua adalah peringatan yang diberikan oleh Sang Pencipta pada kita untuk kita bsia peduli terhadap masalah bangsa, masalah negeri ini, masalah kita bersama. Ya, memang semua kejadian pasti ada maksud dan tujuannya. Kita tak pernah tau apakah yang akan mungkin terjadi dari munculnya suatu kasus atau kejadian yang ada. Bisa jadi kejadian itu adalah jalan untuk menemukan jawaban atas permasalahan sebelumnya. Kasus “candaaan” oleh calon hakim agung misalnya, bisa saja hal tersebut mengigatkan kita akan bobroknya moral para pejabat negara, sampai bisa memerikan komentar bahwa kasus pemerkosaan adalah kasus yang tidak perlu ada hukuman yang berat bagi terdakwa, karena baik pemerkosa maupun yang diperkosa sama-sama saling menikmati? Hal ini bisa jadi bukti yang menegaskan bahwa para pejabat kita tentu bukan seorang dewa yang bersih tanpa dosa dan mulia. Mereka layaknya manusia yang perlu selalu diingatkan dan diteguhkan jalannya. Sepatutnya mereka juga sadar bahwa jabatan yang mereka emban memiliki fungsi yang sangat dirasakan bagi rakyat. Namun, mengapa sering sekali kita temukan bahwa para pejabat ini seolah tak mengerti perasaan rakyat, tak mengerti penderitaannya, atau memang tak mau mengerti?

Public Figure seharusnya mencontohkan hal-hal baik dan memberikan teladan bagi masyarakat yang melihatnya. Bukan menunjukkan keangkuhan dan bersikap seolah masyarakat ini buta dan tak mengerti. Apakah tindakan yang dilakukan oleh calon hakim agung itu dapat disebut “candaan” semata? JOKE dia pikir?  Tentu tidak kawan. Para korban pemerkosaan tentu mendapat beban psikis yang sangat besar, dan seketika sosok yang harusnya melindunginya membuat candaan tentang masalah tersebut tentu tidak dapat dikatakan hal itu hanya candaan semata, apalagi bagi seseorang yang mencalonkan diri sebagai Hakim Agung, seorang yang cerdas hukum harusnya tak melakukan lelucon semacam ini yang melecehkan orang-orang yang dirampas haknya dimata hukum.

Sikap tak mau tahu juga harusnya tidak boleh ada pada sosok seseorang pejabat. Memang sebagai pengemban tugas mulia mengurus masalah publik, seorang pejabat negara tentu dihadapkan oleh masalah-masalah rumit. Tapi bukankah memang seperti itu? Ayah saya pernah berkata “pekerjaan sebagai PNS atau pejabat negara itu adalah pekerjaan mulia, tentu harus diiringi dengan niat yang mulia pula. kalau kita mengincar jabatan saja atau mendambakan kekayaan setelah menduduki posisi tersebut, lebih baik jangan menjadi PNS atau pejabat negara! Karena kita tidak akan bisa kaya jika tidak melalui cara-cara “tertentu” selama menjadi abdi negara.” Seorang abdi negara adalah kata yang saya selalu ingat dari perkataan ayah saya ini. Ya, memang selayaknya sebagai abdi negara kita harus mengabdi dan kepada siapakah negara itu mengabdi. Sudah barang tentu kepada Rakyatnya kan? Negara kita demokratis, menganut sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka rakyat dan bangsa ini lah yang jadi tujuan pengabdian, bukan jabatan dan harta. Dan sikap tak mau tahu bukanlah sikap seorang abdi negara.

Hal ini juga yang terjadi pada kasus penggusuran Pedangang Kaki Lima di stasiun se-Jabodetabek. Mungkin hal ini yang saya amati secara langsung adalah penggusuran di stasiun Pocin kemarin. Saya sungguh sangat kecewa dengan perilaku yang ditunjukkan oleh pejabat PT.KAI dalam hal ini merujuk pada Direktur Utama PT.KAI yaitu Bapak Ignasius Johan yang menunjukkan sikap tak mau berunding, tak mau diskusi ketika ajakan mahasiswa, pedagang, kapolres depok, sampai komnas ham tak disambutnya dengan baik, bukankah menunjukkan bahwa adanya sifat tidak mau tahu dari seorang abdi negara? yang dituntut tidaklah susah, para pedagang ingin berdiskusi. Seharusnya secara regulasi resmi, PT.KAI lah yang terlebih dahulu mesti membuka jalur dialog sebelum penggusuran dimulai. Namun, bahkan ketika para pedagang yang memulai untuk itikad baik ini, ajakan ini pun tidak diindahkan. Kemana rasa peduli itu jika rasa ingin tahu saja sudah tidak ada?

Apa terlalu banyak hal yang bapak pikirkan atau mungkin terlalu sibuk? sehingga hanya sekedar “ngobrol” dengan masyarakat “kelas bawah” semacam pedagang ini bapak tidak mau? Apa bapak tidak mau karena kami tidak bisa “menyuguhkan jamuan” yang pantas buat bapak sehingga bapak malas datang ke gubuk reot tempat kami mencari nafkah?


Ahh, sudahlah. Mereka yang tertutup hati nuraninya, mana mungkin mau membuka mata apa lagi membuka hati? Saya disini berbicara soal nurani, berbicara tentang hak yang dirampas oleh pejabat-pejabat negara, berbicara soal moral bangsa, berbicara tentang negeri ini yang barangkali bisa menjadi salah satu cara saya peduli terhadap apa yang saya soroti tadi. Terhadap Negeri makmur nan indah ini, terhadap Indonesia. Bukan Bermaksud menggurui! Sekali lagi tidak. Saya tidak bermaksud menggurui, hanya melatih diri supaya peka dan peduli. Supaya hati ini mau tahu, mata ini mau lihat, dan raga ini mau merasakan. Bukan sekedar janji dan hipokrit yang diucapkan. Saya disini belajar dan hanya ingin peduli pada negeri ini.....



Salam Untuk Hati Nurani


dari kamar kecil tempatku beristirahat.