Sore
ini cuaca sangat cerah, langit menguning di ufuk barat. Tak seperti biasanya, beberapa
hari belakangan, sore menjadi mendung dan suram karena masih banyak pemberitaan
mengenai banjir, letusan gunung, atau kasus-kasus korupsi penyelenggara Negara dan
impotensi hukum yang mengisi pemberitaan di media.
Sore
ini berbeda. Cuaca yang indah ini mendukung dan membuat hati kian semangat
melakukan suatu hal yang menyegarkan. Olahraga sore mungkin. Mencoba
mengalihkan pikiran dari kesibukan rutinitas perkuliahan, organisasi, tugas
jurnal, atau sekedar berkeluh kesah karena belum sempat sarapan. Ya esok adalah
senin, dan seperti kebanyakan, hari senin dianggap sebagai momok karena kita
akan kembali pada rutinitas yang biasa, bagai gondola yang bergerak pada
lintasan yang itu-itu saja. Tanpa kita sadari bahwasah-nya awal minggu akan
sangat menentukan perjalanan atas konsepsi yang kita rancang selama satu minggu
ke depan, satu bulan ke depan, bahkan untuk seterusnya...
Aku
tak pernah membayangkan sebelumnya bahwa akan melakukan olahragi di Minggu sore
ini, bahkan mungkin kita tidak akan pernah sadar apa yang akan kita hadapi pada
sore hari tiap harinya bahkan apa yang akan terjadi 5 menit ke depan dalam
prosesi kehidupan tak akan pernah kita ketahui. Tapi kumantapkan hati untuk
mengeluarkan sepedaku yang tampak berdebu dari gudang dan memompa ban yang
kelihatan kempes karena sudah lama
tidak digunakan. Setelah rampung dengan semua persiapan, sepatu kat, rantai
sepeda yang telah di periksa putarannya, jaket hoody dan tak lupa playlist lagu dari handphone
disambungkan dengan headset dan sebuah buku bacaan yang sedikit lagi rampung
aku selesaikan (berjaga-jaga apabila lelah dan tidak ada kerjaan bisa saja ku
baca), aku meluncur mengayuh sepeda membelah keramaian jalan raya di Minggu
sore di antara para pemburu liburan mingguan lainnya yang tinggal hitungan jam
lagi...
Ya,
sore itu jalan raya lebih padat daripada biasanya. Maklum, liburan yang mereka
dapatkan hanya akan bertahan selama beberapa jam ke depan sebelum mereka
memasuki rentetan aktifitas saat Senin menyapa esok hari. Sama seperti ku yang
tanpa motivasi yang jelas mengayuh sepeda diantara kerumunan kendaraan
bermotor, berebut jatah liburan ditemani dengan cuaca yang cerah dan lantunan
lagu dari music player yang sedari
awal berangkat telah menemaniku. Sore ini memang lain dari biasanya kawan,
udaranya sejuk, langitnya cerah dan sedikit menguning karena sang surya akan
segera kembali ke peristirahatannya di bagian barat. Seperti memberikan kita
suatu kabar bahwa setiap kita pasti akan beristirahat, melepaskan penat setelah
beraktifitas. Bahkan beristirahat untuk selamanya setelah “kepenatan” yang
dinamakan kehidupan. Bukan kah begitu, tak satu pun di Bumi ini yang tak
beristirahat bukan? Bahkan membaca tulisan ini bisa saja menjadi bentuk
istirahat dari suatu ha; yang sedang memenuhi pikiran kita.
Mungkin
saja...
Dan
setelah 30 menit lebih ku kayuh sepedaku ini, sampailah aku pada tujuan
keberangkatanku sejak awal. Salah satu kawasan terkenal, institusi penyandang
nama Negara ini. Sekaligus tempat dimana ribuan pemuda mencari ilmu dan
pengalaman sebelum akhirnya menapaki jejak kehidupan yang sesungguhnya, termasuk
diriku ini. Ya disinilah aku akan menghabiskan waktuku selama 4 tahun jika
sesuai dengan perencanaanku, mengais peruntungan, berharap kelak setelah lulus
akan kutebus semua pahit perjuanganku dengan manisnya “kesuksesan”. Kampus yang
dikatakan sebagai kampus perjuangan, Universitas Indonesia.
Kali
ini aku sudah berhadapan langsung dengan gerbang utama kampus ini, berdiri
gagah dengan beberapa penjaga masih melakukan tugasnya mengawasi orang yang
keluar masuk ke kawasan ini layaknya perumahan elite anggota dewan yang
terhormat. Hanya saja mungkin perbedaannya kampus ini masih terbuka untuk umum,
dan karena merupakan instansi pendidikan maka kawasan ini juga menjadi suatu
percontohan bagaimana kaum terdiidik atau kaum intelegensia bagi masyarakat
umum. Kawasan ini adalah harapan bangsa ini, harapan dari bangsa yang namanya
bersatu dengan nama instasi ini, yaitu Indonesia. Dan seperti semua perguruan
tinggi lainnya yang tersebar di seluruh negeri ini, harapan itu akan tetap
sama. Bahwa masa depan dan cita-cita bangsa ini tergantung pada bagaimana para
pejuang muda dari kampus bisa memaksimalkan potensinya setelah mengenyam
pendidikan tinggi yang mungkin hanya dirasakan 2% saja dari seluruh penduduk
negeri ini.
Namun
kawan, nampaknya mimpi tadi tak seindah teorinya. Saat ini, di era modernisme,
di era globalisasi, di era ketika paham-paham asing lebih mengakar daripada
nilai dan norma bangsa, nampaknya mimpi itu terasa sulit dicapai. Kita telah
tergerus arus modern ini, terkikis dengan paham kapitalis, ketika sumber
kekayaan bangsa hanya dimiliki oleh 0,002% penduduknya. Dan apa yang lebih
parah kawan? Yang lebih parah adalah ketika kaum inteleginsia bangsa juga ikut
termakan budaya ini, saat mereka lulus yang dikejar hanyalah manisnya “kesuksesan”
untuk diri sendiri atau hanya golongan. Nampaknya proses dan mimpi besar yang
diharapkan pada 2% penduduk yang mampu merasakan pendidikan tinggi juga tidak
dimaknai oleh seluruh 2% tersebut.
Sejenak
pandanganku teralihkan, tidak terasa bahwa aku telah memasuki bagian kampus
yang paling ramai dilalui mahasiswa, di depan halte stasiun UI. Disana tampak
jelas, wajah-wajah penerus negeri ini, wajah yang menunggu dan menanti
kedatangan kendaraan yang akan menjemput mereka, gelisah mungkin karena
tugas-tugas yang menunggu harus diselesaikan di kosan, dan teringat bahwa besok
sudah harus berjibaku dengan padatnya kuliah aktifitas lain seperti lomba-lomba,
organisasi, kepanitiaan atau buat mereka yang sudah lulus dan menanti lamaran
pekerjaan memanggil. Hal ini sama dengan wajah-wajah penduduk negeri ini, yang
mungkin masih berada pada kondisi yang kurang layak, menunggu dan menanti
perubahan hidup mereka dengan gelisah, berharap kelak negeri ini dapat
memberikan suatu arti lebih daripada hanya pengumuman bahwa kita telah merdeka
dari merdeka dari penjajahan kolonial, namun ternyata masih dalam bentuk
penjajahan lainnya yang lebih kejam, yaitu kebodohan.
Bagiku
sendiri, kebodohan yang menjajah negeri ini dapat dibagi 2 kawan. pertama
memang kebodohan karena masih banyak putra-putri bangsa yang belum bisa
merasakan pendidikan tinggi seperti kita ini mahasiswa, kualitas pendidikan
yang tidak merata menyebabkan bangsa kita sulit mengembangkan diri. Kita
mungkin terlalu bangga saat dikatakan bahwa tanah kita ini kaya, bahkan dalam
suatu nyanyian dikatan bahwa tongkat dan kayu bisa jadi tanaman. Tak terhitung
nilai Sumber Daya Alam yang kita miliki, namun pemerataan kualitas pendidikan
yang timpang menjadi kendala atas mutu Sumber Daya Manusianya. Sedih sekali
kawan mengingat bahwa dibagian timur negeri ini, mungkin masih banyak saudara
kita yang belum bisa merasakan kehidupan yang layak. Bahkan tak usah jauh-jauh
kawan, tidak sampai 3 jam dari Ibu Kota Negara bisa saja kita temukan hal
serupa...
Namun,
biarpun begitu masih ada suatu kebodohan yang lebih parah yang dilanda oleh
negeri ini kawan. Apa itu? Itu adalah ketika orang-orang yang dikatan pintar di
negeri ini malah dengan tanpa perasaan bersalah membodoh-bodohi bangsa sendiri
demi perut dan kenyamanan diri sendiri atau segilintir golongan saja. Kita
tertelan pada suatu kasus kebodohan yang mengakar. Terkadang hanya
memikirkannya saja aku pesimis kawan, sedih bahkan tak sampai sepatah kata pun
dapat mengungkapkan betapa carut-marutnya kondisi negeri kita ini kawan jika
kita mau berpikir lebih jauh dan dalam.
Aku
meyakini bahwa banyak sekali orang pintar dan cerdas di negeri ini, banyak
sekali mahasiswa-mahasiswa bernilai lebih dari emas karena kepintarannya dan ia
adalah putra bangsa. Lahir dan besar di tanah air. Di bumi pertiwi. Ia berbahasa
Indonesia, bahkan mengenyam pendidikan di instasi milik pemerintah yang
sebenarnya dibiayai atau setidaknya di subsidi oleh uang rakyat... Sehingga
salah kah apabila tadi dikatakan bahwa banyak orang yang menunggu dan menanti
dengan gelisah perubahan pada negeri ini, dan harapan itu tentu saja diemban
lebih besar oleh orang yang pintar dan memiliki kelebihan untuk menjalankan
perubahan yang dimaksud. Karena kaum intelegensia yang benar adalah orang yang
memiliki kelebihan lebih atas orang pada umumnya, dan menuntut lebih atas
dirinya sendiri bahwa dialah yang mampu menjalankan dan mengemban tuntutan itu.
Bukan mereka yang membodoh-bodohi bangsanya karena ketamakan.
Hari
mulai gelap, tak terpikir sejauh ini olehku, bahwa jalan-jalan sore yang
seharusnya tenang dan damai dapat menjadi sarana berpikir kritis yang baik.
Melihat kejadian disekitar, melihat orang-orang disekitar, mengoreksi diri
sendiri dari tuduhan dan pandangan yang sama atas koreksi besar-besaran kita
terhadap orang lain. Ternyata benar kawan, mengoreksi orang lain itu lebih
mudah daripada mengoreksi diri. Aku pun ternyata belum sejauh itu berbuat
banyak untuk negeri. Bahkan aku pun hanya mahasiswa biasa saja, tanpa pengaruh
dan kekuatan untuk berbuat besar. Lalu buat apakah khayalanku ini? Sejauh ini?
Apakah ini hanya akan menjadi kontradiksi dan apakah aku nantinya akan berubah
menjadi orang yang hipokrit dan paradoks???
Tetiba
saja, playlist-ku memutarkan lagu
berjudul “Cerita Tentang Gunung dan Laut”. Aku sudah sering mendengarkan lagu
ini, belakangan memang aku tertarik dengan band yang menyanyikannya yaitu
Payung Teduh, aku rasa band ini punya ciri khas yang unik dan keorisinalan lagu
mereka memiliki makna tertentu, tidak berusaha menjadi band dengan pendapatan
tinggi yang mengikuti arus industry music kini yang terlihat “berlebihan”
bahkan kehilangan nilai seni dan puitisnya.
Dibagian
liriknya kutemui kata-kata seperti berikut “tak
perlu tertawa atau menangis pada gunung dan laut, karena gunung dan laut tak
punya rasa...”. Sekilas terpikir ulang oleh ku kembali atas semua hal yang
kupikirkan sejak tadi mengenai mimpi ini, mengenai negeri ini. Ya, tak perlu
lah kita tertawa atau menangis pada kejadian yang menimpa Negeri ini. Negeri
ini tak butuh tawa kita, atau tangis kita, penduduknya dan isinya lebih
membutuhkan tindakan kita. Bahkan sekecil apapun itu. Bahkan selemah apapun
itu. Selama kita melakukannya dengan tulus, selama niat kita lurus. Tak perlu
dulu kita menjadi besar untuk membuat negeri ini besar. Negeri ini mungkin
sudah cukup dengan segala hipokrit dan pembodohan yang terjadi. Kita tahu jelas
bahwa kapitalisme telah banyak merubah wajah-wajah bangsa kita yang dari
ramah-tamah menjadi ramah-tamak (ramah namun ada maunya dan ketamakan lebih
mendominasi). Aku tak pernah membayangkan apakah nantinya aku akan bisa berbuat
banyak untuk Negeri ini, tapi ingin sekali kusaksikan perjuanganku meraih
manisnya “kesuksesan” setelah lulus nanti bukan hanya kesuksesan yang diukur
dari materi. Aku berharap juga pada mereka yang mempunyai kemampuan lebih untuk
mengajak dan mempengaruhi, mereka yang juga hatinya baik dan tulus. Agar mau
menjadi bagian dari pemerintahan ini. Terlalu banyak orang baik kini yang sudah
tidak peduli lagi, mempertahankan status baiknya dengan tidak ikut turun ke
dalam “lumpur” pemerintahan yang dikatakan kotor dan busuk. Tetapi mungkin sekedar
mengulang kembali pernyataan Soe Hok Gie, ia mengatakan bahwa menurutnya
politik adalah barang yang paling kotor, namun ketika kita tidak ada jalan lain
lagi maka terjunlah. Dan katakanlah benar apabila itu adalah kebenaran dan
katakanlah salah apabila itu adalah kesalahan. Apakah ada yang lebih puitis
daripada kebenaran, kawan?
Waktu
sudah mendekati maghrib, sayup-sayup suasana senja yang diikuti tenggelamnya
matahari di ufuk barat mulai terasa. Dan setelah membeli minuman untuk mengusir
rasa dahaga, ku kayuh kembali sepedaku menuju perjalanan pulang. Hari ini
memang berbeda dari biasanya kawan, semoga aka nada hari yang berbeda seperti
ini juga untukmu kawan.
Salam dari kamarku, bersama heningnya malam