“Saya bersedia menerima
ketidak-populeran karena ada hal yang jauh lebih besar : Kebenaran” –
Soe Hok
Gie
Populer? Bukan kata yang sulit
dicerna dan bukan kata yang tidak “populer”. Banyak hal mengapa “populer”
menjadi hal yang menarik untuk dilirik atau dicoba. Agaknya mungkin masih
terlalu rumit mengapa malam mini saya membahas mengenai popularitas dengan kata
lainnya tentang kebenaran. Ditinjau dari segi bobot mungkin tulisan saya kali
ini terkesan rendah dan tidak dalam. Ya memang bisa dibilang. Tapi pun saya
masih belajar. Dan untuk soal alasan jelasnya kenapa topik ini saya ambil
mungkin lebih kepada pengalaman pribadi saja dan intuisi saya mengenai kedua hal ini yang bisa
begitu "dekat" dan berkaitan.
Biarpun populer memiliki arti
yang “baik” seperti semakin populer seseorang maka semakin ia baik dalam segi
pencitraannya, tapi belum tentu kebenarannya. Ya mengapa menurut saya kedua
kata ini berkaitan karena keduanya memiliki pemaknaan yang sama baiknya namun
beda konteks. Seseorang yang populer memiliki tingkat kebaikan baru pada level
pencitraannya saja. Namun, bukan berarti seseorang dengan tingkat popularitas yang tinggi mengindikasikan dia baik pd
kenyataannya. Hanya saja kuat maknanya jika kebaikan yang dimaksud baru pada
pencitraannya saja, pada kuitnya. Dagingnya atau isinya belum tentu sebaik penampangnya.
Itulah mengapa popularitas atau populer memiliki konotasi yang “baik” baru hanya
pada tingkat pencitraan yang tampak.
Lalu bagaimana dengan kebenaran.
Dalam matematika dasar, kita mengenal istilah mutlak, biasa disimbolkan dengan
tanda {| |} yang memiliki makna tetap, tak terbantahkan, dan absolute.
Nilai absolut atau nilai mutlak atau modulus adalah
nilai suatu bilangan riil tanpa
tanda plus atau minus.
Baik ataupun sama-sama
bernilai .. Sebagai contoh, nilai absolut dari 3 adalah
3, dan nilai absolut dari –3 juga 3. Tanda mutlak mengisyaratkan bahwa
seuatu angka haruslah selalu bernilai positif. Berapapun angka yang dimasukkan
yang kita lihat adalah nilai “sejatinya” atau bagian positif dari angkanya. Begitu
pun dengan arti dari kebenaran, bagaimanapun tampak dan wujudnya dilakukan
kebenaran jelas menitikberatkan pada arti “sejatinya” tentang kebaikan. Tidak
seperti popularitas, kebenaran muncul dan pada bagian isi dan dagingnya, tidak
hanya kulit. Walaupun tampaknya kulit kebenaran begitu busuk dan hancur, namun
aromanya dan isinya jelas harum dan manis.
Pertanyaan selanjutnya muncul
bagaimana pengaplikasian dari kebenaran ini di dunia nyata? Tentu bukan barang
yang mudah membawa dan menerapkan hal ini pada kondisi nyata di lapangan.
Ketika jutaan hingga milliaran orang kini memilih untuk mengikuti arus deras
demi mengejar ambisi pribadi, kebenaran nampaknya sulit dilakukan. Seolah
menjadi seperti beban yang sulit dipegang krn harus banyak pengorbanan yang
dilakukan bahkan untuk dirinya saja belum tentu aka nada hasil manis yang akan
dipetik nantinya.
Kebenaran memang bukan “barang
mewah” dilihat dari bagaimana ia berjalan dan tantangan serta pengorbanan yg
dihadapi Ia juga tak semanis janji yang diberikan oleh popularitas yang tinggi,
yang mungkin lebih mudah dan lebih nyaman untuk dijalani…….
Tapi justru bukankah dengan berbagai problematika tersebut menjadikan kebenaran
bukan hal yang “murah”? Walau sulit, tetapi hal yang patut diperjuangkan
memang sepatutnya sulit. Juga bukankah perjuangan itu selalu pahit karena Surga
terlalu manis? (hal ini saya kutip pada istilah yang saya baca)
Ya, kebenaran nampaknya tidak
menjanjikan hasil yang manis begitu saja seperti apa yang nampak dijanjikan
oleh popularitas. Kebenaran sulit sekali dicapai dengan segala macam
perjuangannya. Bagaimana bisa hal yang begitu baik secara nilai dan isinya
malah lebih pedih dilakukan daripada hal yang baik hanya dari tampaknya? Ya,
tapi memang begitulah semestinya. Begitulah adanya. Bagaimana kebenaran memang
menjadi hal yang “populer” diucapkan tapi sulit sekali dilakukan. Tujuan dari
pembahasan mengenai pandangan saya mengenai populer atau popularitas ini vs
kebenaran hanya untuk memberi pandangan lain, mengenai byk hal disekliling kita
yang nampaknya telah banyak menipu kita.
Contoh mudahnya adalah kisah
peruangan seorang ibu. Bagaimana perjuangan seorang ibu yang telah dengan susah
payah membesarkan kita , begitu pahitnya ia menerima hujatan dan mengahadapi
kerasnya kehidupan demi membesarkan anaknya. Namun hal itu bisa saja runtuh
seketika saat ada seorang lain yang melakukan kebaikan pada kita dan lalu kita
membandingkannya dengan perlakuan ibu kita yang kecil saat ia marah pada kita,
lalu kita membatin dalam hati “ahh ibu mana pernah mengerti aku? Tidak seperti
X yang memperlakukanku jauh lebih baik”. Bukankah kenikmatan instan hanya
berlaku sesaat? Walau terasa manis bukankah hal seperti itu malah telah
meruntuhkan kesucian yang telah dibangun sekian lama dan begitu besar.
Begitulah kebenaran, ia tak akan terasa indah dan manis kalau kita tidak mau
meresapi bagaimana ia ditanam, dipupuk dan dibesarkan. Dan apabila nilai-nilai
kebenaran yang kita tanam telah tumbuh, bukan kah dengan itu rasanya sudah
cukup buat kita menikmati hal yang kita punya walau terkadang perih dan pedih? Daripada
bersembunyi dalam bayang-bayang semu popularitas yang malah menuntut kita untuk
melindunginya dan mencoba bertahan untuk tetap nyaman dibawahnya?
Hal ini juga terjadi pada Negara
kita, bagaimana yang pejabat yang tampak hanya tampak manis pada luarnya saja krn
popularitasnya menutupi pejabat yang bersih memegang kebenaran dan nilai-nilai
baik.
Saya Cuma berpendapat dari tulisan saya ini,
bahwa hal yang tidak kita ketahui tentang berbagai hal di dunia ini terlalu
banyak, namun saya yakin dari sekian banyaknya hal tersebut kebenaran tetap
adalah hal yang jauh lebih baik dan besar untuk dilakukan dari pada mengincar popularitas
semata. Walau pada nyatanya nilai-nilai kebenaran antara setiap orang itu
berbeda, tapi seperti pada tulisan saya yang sebelumnya saya katakana hakikatnya
adalah kebenaran yang dimaksud adalah relative sama menyangkut hak asasi
manusia atau hal yang banyak diajarkan pada agama. Semudah bahwa bahwa
mengingkari tindak maksiat dalam hati adalah sekecil-kecilnya iman dalam
konteks membela kebenaran.
Dan untuk menutup tulisan saya
pada malam ini saya juga ingin mengutip beberapa kalimat dari lirik lagu Cahaya
Bulan dalam Ost. GIE…..
Aku orang malam yg membicarakan terang
Aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh
pedang